Bisnis.com, JAKARTA— Indonesia Data Center Provider Organization (IDPRO) memperkirakan kebutuhan kapasitas pusat data (data center) di Indonesia pada 2026 akan tumbuh sekitar 35%–45% dibandingkan 2025.
Proyeksi tersebut sejalan dengan meningkatnya pemanfaatan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) generatif, otomatisasi industri, serta kebutuhan pengolahan data secara real-time.
Ketua IDPRO Hendra Suryakusuma mengatakan, secara lebih spesifik, kebutuhan kapasitas listrik (power demand) industri pusat data diprediksi meningkat hingga 300–400 megawatt (MW) dalam 1–2 tahun ke depan.
“Ini didorong oleh permintaan hyperscale dan edge data center yang mendukung aplikasi AI,” kata Hendra saat dihubungi Bisnis, Rabu (31/12/2025).
Data resmi PT PLN (Persero) mengindikasikan bahwa pada 2030 kapasitas industri pusat data di Indonesia akan mencapai 2,3 gigawatt (GW). Namun, Hendra menilai proyeksi tersebut belum sepenuhnya memasukkan faktor penggunaan AI, khususnya server berbasis GPU yang membutuhkan daya per rak (power per rack) sangat besar, bahkan dapat mencapai 135 kilowatt (kW) untuk GPU GB200.
Hendra menyebut IDPRO melihat adopsi dan pemanfaatan AI berlangsung secara masif di berbagai sektor, baik swasta maupun publik, yang pada akhirnya akan mendorong lonjakan kebutuhan kapasitas dan kapabilitas pusat data di Indonesia.
AI membutuhkan infrastruktur dengan kinerja komputasi tinggi (high performance computing/HPC), latensi rendah, serta kapasitas penyimpanan data berskala besar, terutama untuk keperluan pelatihan (training) model.
Secara umum, lanjut Hendra, infrastruktur pusat data nasional terus berkembang dan menunjukkan kesiapan untuk menopang beban kerja AI, terutama dengan masuknya investor dan operator global, serta ekspansi pemain lokal.
“Beberapa anggota IDPRO juga sedang membangun AI ready data center,” kata Hendra.
Meski demikian, Hendra menilai tantangan masih cukup besar, terutama terkait peningkatan kapasitas daya, sistem pendinginan, dan konektivitas berlatensi rendah yang dibutuhkan oleh beban kerja AI.
Menurutnya, sejumlah penyedia layanan pusat data sudah mulai mengadopsi server GPU dan arsitektur khusus untuk AI workload, meskipun implementasinya masih dilakukan secara bertahap.
Hendra mengatakan kapasitas dan keandalan pusat data di Indonesia saat ini relatif memadai untuk mendukung tahap awal adopsi AI, tetapi belum sepenuhnya ideal untuk skala masif. Sebagai perbandingan, proyek pusat data AI berskala besar seperti Stargate di selatan Houston membutuhkan daya dan sistem pendinginan yang jauh lebih tinggi dibandingkan beban kerja konvensional.
Di sisi lain, sejumlah pusat data di Indonesia telah mengantongi sertifikasi Tier III dan Tier IV dengan tingkat uptime tinggi serta redundansi daya yang memadai. Namun, ketersediaan energi bersih dan berkelanjutan (renewable energy) masih menjadi pekerjaan rumah bersama.
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025, porsi energi terbarukan ditargetkan meningkat hingga 76%, yang dinilai menjadi angin segar bagi industri pusat data di Indonesia. Hendra mengatakan pemerintah melalui berbagai inisiatif energi hijau, bersama penyedia pusat data, juga mulai menjajaki skema Power Purchase Agreement (PPA) untuk energi terbarukan, seperti pembangkit listrik tenaga surya (solar farm) dan hidro.
“Namun implementasinya butuh dukungan regulasi yang lebih progresif. Pertamina Geothermal juga sudah commit untuk menyuplai green energy ke industri DC di tanah air,” katanya.
