Ancaman Orang Dalam hingga AI

Ancaman Orang Dalam hingga AI

Bisnis.com, JAKARTA — Lanskap ancaman siber Indonesia disebut akan semakin kompleks dan tidak lagi semata bertumpu pada aspek teknologi. Tantangan disinyalir datang dari faktor manusia, tata kelola, regulasi, hingga pola kolaborasi lintas sektor yang selama ini belum sepenuhnya solid.

Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja mengatakan salah satu isu krusial yang diprediksi mengemuka adalah meningkatnya ancaman dari dalam organisasi atau insider threat. 

Ancaman ini kerap luput dari perhatian karena pelaku memiliki akses legal terhadap sistem dan data sensitif. 

“Faktor humanis seperti kelalaian, ketidaktahuan, tekanan ekonomi, hingga motif spionase menjadi pemicu utama terjadinya insiden siber yang merugikan,” ujarnya, dikutip Bisnis, Senin (29/12/2025).

Ardi menyebut, data global menunjukkan bahwa insiden siber yang melibatkan pihak internal sering kali berdampak lebih besar dibandingkan serangan eksternal, karena mereka memiliki akses pada data sensitif dan sistem inti. Di Indonesia, risiko tersebut diperparah oleh belum meratanya kesadaran keamanan siber di tingkat sumber daya manusia. 

Banyak organisasi masih menitikberatkan investasi pada infrastruktur teknologi tanpa diimbangi pembentukan budaya keamanan digital. Padahal, penguatan literasi siber, pelatihan berkelanjutan, serta sistem deteksi dini perilaku mencurigakan menjadi fondasi utama dalam menekan risiko dari dalam.

Selain aspek SDM, Ardi menyoroti peran cyber insurance atau asuransi siber yang diperkirakan kian relevan seiring maraknya kasus ransomware, kebocoran data, dan potensi tuntutan hukum. 

Kerugian akibat serangan siber tidak hanya mengganggu operasional, tetapi juga merusak reputasi dan kepercayaan pelanggan.

Kendati demikian, pengembangan asuransi siber di Tanah Air masih menghadapi sejumlah kendala, mulai dari pemahaman risiko yang terbatas, penyesuaian produk dengan regulasi domestik, hingga mekanisme klaim yang belum sederhana. 

Edukasi kepada pelaku usaha dan penguatan regulasi dinilai penting agar cyber insurance benar-benar menjadi instrumen mitigasi risiko yang efektif.

Selain itu, pemerintah menurutnya perlu memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap industri asuransi siber, agar perlindungan yang diberikan optimal dan dapat dipercaya. 

Transparansi dalam proses klaim, serta kolaborasi antara perusahaan asuransi dan regulator, katanya menjadi kunci agar cyber insurance dapat menjadi solusi yang efektif dalam menghadapi ancaman siber pada masa depan.

Sementara itu, ICSF menyoroti pentingnya kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat untuk membangun ketahanan siber nasional yang tangguh dan adaptif. 

Regulasi yang responsif, sistem pelaporan insiden yang transparan, serta kemampuan respons cepat terhadap serangan menjadi pondasi utama dalam menghadapi ancaman yang bersifat lintas batas. 

Indonesia menurutnya perlu mempercepat pembentukan kerangka kerja yang jelas, termasuk Unified Cyber Command yang mampu merespon ancaman secara terintegrasi dan profesional.

Indonesia juga didorong untuk aktif dalam kerja sama regional dan global melalui diplomasi siber. Ancaman siber bersifat lintas negara dan kerap melibatkan jaringan internasional, sehingga pertukaran informasi dan strategi mitigasi menjadi kebutuhan mendesak.

Di sisi lain, perkembangan kecerdasan buatan (AI) menghadirkan peluang sekaligus risiko baru. AI dapat dimanfaatkan untuk memperkuat sistem deteksi dan respons insiden, tetapi di saat bersamaan juga berpotensi digunakan pelaku kejahatan siber untuk melakukan social engineering dan serangan yang lebih canggih. 

“Tahun 2026 diprediksi akan menjadi titik balik di mana teknologi AI tidak hanya digunakan untuk pertahanan, tetapi juga pelaku kejahatan siber,” tegas Ardi.

Oleh saebab itu, Ardi menekankan pentingnya investasi pada talenta digital yang tidak hanya unggul secara teknis, tetapi juga memahami etika dan perlindungan data. Pemerintah, dunia pendidikan, dan industri perlu bersinergi menyiapkan sumber daya manusia yang mampu mengelola risiko teknologi secara bertanggung jawab.

Tak kalah penting, peningkatan literasi siber masyarakat luas menjadi garda terdepan dalam memperkuat ketahanan nasional. Edukasi mengenai perlindungan data pribadi, pengenalan hoaks, dan kesadaran privasi digital perlu menjangkau seluruh lapisan masyarakat, termasuk pelaku UMKM dan aparatur daerah.

“Masa depan keamanan dan ketahanan siber Indonesia bergantung  pada sinergi antara teknologi, manusia, dan kebijakan berelanjutan,” tegas Ardi.