Jakarta (beritajatim.com) – Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, kembali memunculkan wacana perubahan sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) dari pemilihan langsung menjadi tidak langsung.
Alasannya, biaya politik pilkada langsung dinilai sangat mahal dan sarat komplikasi sosial. Namun, usulan tersebut menuai pro dan kontra karena dinilai berpotensi mengembalikan demokrasi pada dominasi elite.
Menanggapi wacana itu, Rektor Universitas Paramadina Prof Didik J. Rachbini menilai persoalan demokrasi saat ini tidak sesederhana mahal atau murahnya biaya pilkada.
Ia menyoroti kerusakan demokrasi akibat masuknya teknologi manipulatif seperti kecerdasan buatan (AI), buzzer, dan bot yang disebutnya sebagai “alien” dalam sistem politik modern.
Hasilnya adalah pemimpin pencitraan, yang tidak menampakkan wajah aslinya, seperti terlihat pada kepemimpinan Jokowi, yang dihasilkan dalam pemilihan langsung dengan penuh keterlibatan mesin-mesin manupulatif, buzzer, bots, dan AI. Ini semua merupakan barang asing dan alien-alien baru di dalam demokrasi .
“Pemilihan langsung memang menjanjikan prinsip one man one vote, tetapi dalam praktik dua dekade terakhir, demokrasi justru dibajak oleh mesin, buzzer, bot, dan AI yang dikuasai elite bermodal besar,” kata Prof. Didik dalam keterangan tertulis yang diterima redkasi beritajatim.com, Selasa (23/12/2025)..
Ia mengingatkan bahwa gagasan pilkada tidak langsung sebelumnya juga pernah disampaikan Presiden Prabowo Subianto, termasuk dalam pidato peringatan HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul pada 12 Desember 2024. Presiden menilai sistem tersebut lebih efisien dan telah diterapkan di sejumlah negara lain.
“Saya melihat negara tetangga lebih efisien, seperti Malaysia, Singapura, dan India. Mereka memilih DPRD sekali, lalu DPRD yang memilih gubernur dan bupati,” ujar Prof. Didik.
Namun demikian, Prof. Didik menilai pemilihan tidak langsung juga bukan solusi mutlak. Menurutnya, jika pilkada sepenuhnya dikembalikan ke DPRD seperti era Orde Baru, maka demokrasi justru berisiko kembali dibajak oleh elite oligarki.
“Ini seperti keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Demokrasi bisa berubah menjadi lebih otoriter jika hanya dikuasai elite tertutup,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa tantangan terbesar demokrasi saat ini adalah masuknya narasi manipulatif berbasis AI yang belum mampu diatur secara memadai oleh negara. Prof. Didik menilai Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) masih gagap dalam menghadapi interaksi antara kebebasan berbicara dan manipulasi informasi berbasis teknologi.
“Demokrasi adalah hak berbicara manusia berdasarkan kehendak bebas. Tapi AI, buzzer, dan bot tidak memiliki moralitas dan tidak menjalankan dialog, melainkan blasting manipulasi,” ujarnya.
Untuk itu, Prof. Didik mendorong parlemen dan pemerintah mencari terobosan agar demokrasi tidak semakin tergerus. Ia mengusulkan model mixed method atau sistem campuran sebagai jalan tengah.
Pertama, pilkada tidak dilakukan secara langsung oleh rakyat, melainkan melalui DPRD. Kedua, calon kepala daerah tidak ditentukan oleh elite partai, tetapi berasal dari unsur pilihan masyarakat, yakni tiga anggota DPRD dengan perolehan suara terbanyak di daerah tersebut.
“Ini jalan tengah antara demokrasi liberal yang rusak oleh manipulasi teknologi dan sistem Orde Baru yang elitis. Inovasi politik diperlukan agar demokrasi tetap hidup, stabil, dan berpihak pada rakyat,” pungkas Prof. Didik. (ted)
