Harga Mahal Frekuensi Low Band Hambat Pemerataan Jaringan

Harga Mahal Frekuensi Low Band Hambat Pemerataan Jaringan

Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) meminta pemerintah untuk turut mempertimbangkan aspek sosial saat ingin melelang pita frekuensi 700 MHz. 

Pita frekuensi 700 MHz kini menjadi sorotan dalam transformasi digital Indonesia karena karakteristiknya sebagai low-band yang sangat efektif untuk cakupan yang luas.

Direktur Eksekutif ATSI Marwan O. Baasir menilai frekuensi ini merupakan kunci utama untuk menyediakan akses internet di daerah rural serta wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

“Mematok harga tinggi pada pita 700 MHz dapat menghambat pemerataan akses masyarakat di wilayah pelosok,“ ujarnya dalam Bisnis Indonesia Forum (BIF) bertajuk Menanti Frekuensi Baru Demi Akselerasi Digital dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, di Wisma Bisnis Indonesia, Selasa (23/12/2025)

Hal ini dikarenakan nilai dampak sosial dari pita 700 MHz dianggap jauh lebih tinggi daripada nilai ekonomi teknisnya.

Selain itu, dia juga menyarankan frekuensi ini seharusnya ditetapkan lebih murah dibandingkan dengan pita kapasitas seperti 2,1 GHz. 

“Operator yang berkomitmen membangun di daerah terpencil disarankan mendapatkan insentif berupa pengurangan BHP,” menurutnya.

Insentif tersebut dinilai sebagai kompensasi yang adil atas mahalnya biaya pembangunan infrastruktur di medan yang sulit.

Selain 700 MHz, pemerintah juga diminta segera merilis frekuensi 2,6 GHz dan 3,5 GHz.

Skema Konvesional Bikin 5G RI Kian Tertinggal

Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional (Infratelnas) Mastel Sigit Jarot mengatakan performa digital Indonesia disebut masih setara dengan Laos dan Kamboja akibat regulasi spektrum yang dinilai tertunda.

“Jika pendekatan business as usual tetap dipertahankan, Indonesia berisiko tertinggal lebih dari lima tahun dalam pengadopsian teknologi 5G,” kata Sigit.

Biaya spektrum yang terlalu mahal terbukti secara global justru memperlambat investasi jaringan dan menurunkan kualitas layanan kepada konsumen. 

Sebagai solusi, muncul usulan untuk menerapkan kembali mekanisme Beauty Contest atau seleksi administratif guna mencapai keseimbangan spektrum antar operator.

Pemerintah disarankan untuk menarik beban pembayaran di muka ke belakang agar operator memiliki napas untuk belanja modal di awal.

Pergeseran fokus dari keuntungan top line ke bottom line dianggap krusial bagi masa depan ekonomi digital nasional. (Muhammad Diva Farel Ramadhan)