Bisnis.com, JAKARTA – Masyarakat Telematika Nasional (Mastel) menilai seleksi frekuensi dengan skema lelang harga berisiko membuat pergelaran 5G di Indonesia melambat dan digitalisasi makin tertinggal.
Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Masyarakat Telematika, Sigit Puspito Wigati Jarot, mengatakan bahwa sistem lelang harga akan memberatkan operator dari segi finansial. Akibatnya, jaringan lambat dibangun dan tujuan 5G tidak tercapai, serta digitalisasi makin tertinggal.
Operator harus menyiapkan dana setiap tahun untuk membayar frekuensi di tengah ongkos penggelaran internet yang tidak murah.
Data ATSI menyebut biaya yang dibayarkan operator seluler untuk ongkos regulasi, termasuk bayar frekuensi tahunan, telah mencapai Rp20 triliun. Nilai tersebut setara 12,2% dari pendapatan yang dibukukan.
“Kalau lelang otomatis kan operator yang punya lelang, yang menang lelang akan menggelar. Tapi kan tadi di presentasi orang bilang operator itu enggak punya cukup napas,” kata sigit dalam acara Bisnis Indonesia Forum dengan tema Menanti Frekuensi Baru Demi Akselerasi Digital dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Selasa (23/12/2025).
Sigit juga memaparkan bahwa Indonesia seharusnya tidak fokus pada satu cara, terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan, seperti beauty contest. Indonesia pada awalnya pernah melakukan beauty contest pada tahun 2013, namun tetap ada perbaikan yang harus diperhatikan.
“Ada opsi kedua gitu, beauty kontes kan, dan kita pernah kontes waktu ya 2013,” kata Sigit.
Skema beauty contest cukup baik, kata Sigit, hanya saja membutuhkan kerja keras di sisi regulator karena harus menilai banyak aspek teknis dan bisnis tidak sekedar membandingkan harga.
Namun untuk menjalankan skema ini, harus dipastikan bahwa penilaian dilakukan secara benar dan transparan sehingga tidak muncul persepsi di kemudian hari bahwa Komdigi ‘main belakang’.
“Tapi kalau kontes memang nanti khawatir ini apa namanya main apa ada main belakang”
Sigit juga berpendapat bahwa perlu adanya desain yang sangat hati-hati. Jika kriteria tidak jelas, beauty contest bisa gagal mencapai tujuan.
Untuk mengoptimalkan spektrum frekuensi yang belum terlelang, Sigit menyarankan agar Komdigi membuat regulasi spektrum yang lebih fleksibel dan inovatif, tidak hanya lelang harga yang mahal.
Regulasi di Indonesia butuh pembaharuan agar bisa mengikuti perkembangan kontribusi spektrum 5G.
Kedua, Sigit menjelaskan bahwa pemerintah bisa menggunakan mekanisme kombinasi (hybrid) misal lelang dengan beauty contest atau skema berbagi jaringan.
Dengan cara ini pengembangan spektrum 5G bisa merata ke segala daerah yang ada di indonesia, misal di daerah perkotaan bisa menggunakan mekanisme lelang atau beauty contest sedangkan untuk daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar (3T) bisa menggunakan mekanisme yang lebih cocok.
Tiga, tujuan utama harus jelas, apa yang ingin dicapai oleh pemerintah dan apa dampak ekonomi dan digital yang ingin dicapai 3 sampai 5 tahun kedepan, bukan sekedar uang masuk cepat.
“Kalau cara lama terus dipakai, indonesia akan makan tertinggall dalam transformasi digital,” kata Sigit. (Nur Amalina)
