Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) mendorong pemerintah untuk menerapkan skema beauty contest berbasis komitmen pembangunan, ketimbang lelang harga, dalam rencana pembukaan pita frekuensi 2,6 GHz dan 700 MHz untuk pengembangan jaringan 5G nasional.
Direktur Eksekutif ATSI Marwan O. Baasir menilai beban regulatory charge yang ditanggung industri operator seluler di Indonesia sudah terlalu tinggi dan berpotensi menggerus kesehatan industri apabila skema lelang harga tetap dipertahankan.
Saat ini, rasio regulatory charge Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi industri telekomunikasi Indonesia tercatat di atas 12,2%, jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata negara ASEAN yang berada di bawah 5%, rasio global sekitar 7%, serta kawasan Asia Pasifik (APAC) sebesar 8,7%.
Berdasarkan analisis internal ATSI, estimasi regulatory charge secara industri berpotensi melonjak hingga lebih dari 28% apabila seleksi pita frekuensi 700 MHz, 2,6 GHz, 3,5 GHz, dan 26 GHz masih menggunakan skema seleksi serta formula BHP yang sama seperti saat ini.
“Itu bisa lebih di atas 12,2%, kalau skemanya masih seleksi dan BHP masih seperti sekarang. Masih lelang dan bukan beauty contest ya maka akan seperti itu,” kata Marwan dalam Bisnis Indonesia Forum: Menanti Frekuensi Baru Demi Akselerasi Digital dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia di Kantor Bisnis Indonesia, Jakarta, Selasa (23/12/2025).
Marwan menambahkan, sejumlah negara telah mulai mengubah pendekatan dalam seleksi spektrum. Bahkan, Amerika Serikat (AS) disebut telah beralih ke pendekatan beauty contest.
Menurut ATSI, skema tersebut memungkinkan pemerintah menilai kesiapan serta komitmen operator dalam membangun jaringan, tidak semata-mata berdasarkan kemampuan membayar.
“Beauty contest itu tiga kandidat yang ikut tiga kandidat yang menang. Namun harganya nanti ditentukan,” kata Marwan.
Saat ini, operator seluler di Indonesia terdiri dari Telkomsel, XLSMART, dan Indosat. Marwan menyebutkan, total spektrum yang digunakan industri seluler baru mencapai sekitar 1.012 MHz, sehingga ruang untuk ekspansi jaringan 5G masih terbuka lebar.
Dia menjelaskan, rencana pembukaan pita 700 MHz (low band) serta pita 2,6 GHz dan 3,5 GHz (mid band) perlu dikaji secara matang, terutama terkait kebutuhan bandwidth riil untuk layanan 5G.
Sebagian operator telah memiliki pita low band seperti 900 MHz, sehingga minat terhadap pita 700 MHz dapat berbeda antaroperator.
“Ada satu yang memiliki low band 700 Mhz, tapi yang dua belum tentu itu, mungkin mereka lebih 2,6 atau 3,5, karena real 5G spektrum,” kata Marwan.
Menurut ATSI, tambahan bandwidth tetap diperlukan, baik di low band maupun mid band, guna menjaga keseimbangan antara cakupan dan kapasitas jaringan.
Berdasarkan studi GSMA, dalam periode 2024–2030, teknologi 5G diperkirakan memberikan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar Rp650 triliun atau sekitar US$41 miliar.
Pada 2030, kontribusi 5G diproyeksikan mencapai 0,6% terhadap PDB atau sekitar Rp172 triliun.
Namun demikian, Marwan menilai kontribusi tersebut masih bersifat makro dan belum sepenuhnya tercermin pada pendapatan operator seluler.
“Jadi 0,6 [kontribusi 5G] ini untuk operator-nya masih belum kelihatan, sebenarnya para operator melihat,“ katanya.
Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) telah melaksanakan seleksi pita frekuensi 1,4 GHz untuk layanan akses nirkabel pita lebar, sesuai dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Digital Nomor 13 Tahun 2025.
Pemerintah juga berencana membuka lelang pita frekuensi 2,6 GHz dan 700 MHz untuk mendukung penggelaran jaringan 5G.
Pita 700 MHz dinilai strategis karena memiliki jangkauan luas untuk wilayah pedesaan dan pinggiran kota, sementara pita 2,6 GHz menawarkan keseimbangan antara cakupan dan kapasitas data tinggi untuk layanan 5G.
