Bisnis.com, JAKARTA — Kaspersky memperkirakan adopsi kecerdasan buatan (AI), mulai dari chatbot hingga pencarian visual, tidak hanya mengubah pengalaman belanja konsumen, tetapi juga memperluas spektrum risiko keamanan siber di industri ritel dan e-commerce pada 2026.
Transformasi digital di sektor ritel dan e-commerce diproyeksikan memasuki fase yang semakin kompleks pada 2026.
Salah satu sorotan utama dalam laporan Kaspersky yang berfokus pada keamanan siber di sektor ritel dan e-commerce, adalah peran chatbot yang kian dominan sebagai alat penemuan produk di marketplace dan platform belanja daring.
Berbeda dengan pencarian berbasis kata kunci, antarmuka percakapan mendorong konsumen menyampaikan kebutuhan secara lebih detail menggunakan bahasa alami.
Interaksi ini memungkinkan platform membangun profil pengguna yang jauh lebih kaya, mencakup preferensi, batasan anggaran, hingga konteks personal. Namun, di sisi lain, kondisi tersebut memperbesar permukaan serangan terhadap privasi.
Log percakapan chatbot berpotensi memiliki sensitivitas setara dengan data transaksi, sehingga berisiko disalahgunakan atau bocor apabila tidak dikelola dengan tata kelola data yang ketat.
“Pola pencarian itu sendiri sedang berubah, termasuk bagaimana orang mencari produk secara online,” ujar Anna Larkina, pakar analisis data web dan privasi di Kaspersky, dalam keterangannya, Senin (22/12/2025).
Selain teknologi pencarian, faktor regulasi juga diprediksi menjadi celah baru bagi kejahatan siber. Perubahan kebijakan pajak, bea impor, dan aturan perdagangan lintas negara berpotensi dieksploitasi sebagai umpan dalam skema penipuan daring.
Modifikasi aturan tersebut kerap dimanfaatkan melalui kampanye phishing atau toko online palsu yang menawarkan harga sangat murah dengan dalih penghematan pajak atau biaya impor.
Situasi ini dinilai dapat menurunkan tingkat kewaspadaan konsumen dan pelaku usaha, khususnya usaha kecil dan menengah, di tengah dinamika penetapan harga dan biaya lintas pasar yang terus berubah.
Di sisi lain, Kaspersky juga menyoroti meningkatnya peran asisten belanja berbasis AI yang beroperasi di luar platform ritel.
Agen belanja ini diperkirakan akan semakin terintegrasi ke dalam peramban, aplikasi seluler, dan layanan pihak ketiga untuk membantu navigasi produk dan perbandingan harga.
Meski dirancang untuk menyederhanakan navigasi dan penemuan harga, alat-alat ini menggeser pengumpulan data di luar perimeter pengecer, menciptakan risiko privasi baru dan kurang terlihat. Agar berfungsi secara efektif, agen belanja AI eksternal memerlukan akses terus menerus ke perilaku pengguna, termasuk aktivitas penelusuran, konteks lokasi, dan interaksi produk di berbagai situs.
Anna menyebut hal ini memungkinkan agregasi profil perilaku terperinci di luar kendali langsung pengguna dan platform ritel, meningkatkan risiko pengumpulan data berlebihan, penggunaan data yang tidak transparan, dan paparan tidak disengaja.
Tantangan berikutnya datang dari fitur pencarian produk berbasis gambar yang semakin populer. Jika sebelumnya isu privasi gambar terbatas pada foto ulasan produk, kini unggahan foto menjadi bagian rutin dari proses belanja.
Foto yang diunggah pengguna berpotensi memuat informasi sensitif, seperti wajah, kondisi rumah, hingga data pribadi yang terlihat pada label pengiriman atau kemasan.
Kaspersky menilai, untuk menjaga kepercayaan konsumen, pengecer perlu menerapkan prinsip pemrosesan aman, minimalisasi data, serta kebijakan retensi yang terbatas.
