OPINI: Kaji Ulang PTKP

OPINI: Kaji Ulang PTKP

Bisnis.com, JAKARTA – Kondisi ekonomi Indonesia saat ini memang bergerak ke arah perbaikan dan pemulihan. Hal ini dapat dilihat dari pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG).

Bahkan, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi triwulan IV/2025 akan mencapai 5,7%. Situasi tersebut karena perekonomian sudah berada dalam tren pemulihan dari tren perlambatan yang terjadi pada triwulan III/2025. Bergeraknya perekonomian disebabkan Menkeu dengan persetujuan Presiden menggelontorkan uang Rp200 triliun, sehingga membaiknya pertumbuhan ekonomi dan menimbulkan momentum pertumbuhan ekonomi baru. Namun, kondisi inflasi dan kesulitan masih terus mengikuti kehidupan rakyat banyak.

Menurut survei Voice of the Consumer 2025, survei ini mengumpulkan wawasan dari 21.075 konsumen di 28 negara dan wilayah, termasuk Indonesia, dan mengungkap bahwa konsumen ingin membeli makanan yang selaras dengan nilai-nilai mereka terkait kesehatan, kenyamanan, dan keberlanjutan. Dalam survei tersebut menunjukkan bahwa 50% konsumen Indonesia makin khawatir terhadap ketidakstabilan ekonomi dan meningkatnya biaya hidup, yang mendorong mereka untuk membeli lebih sedikit dan memilih alternatif yang lebih murah.

Isu krisis biaya hidup bukan lagi sekadar topik ekonomi, melainkan masuk dalam persoalan sosial. Kenaikan harga bahan pokok, seperti beras, minyak goreng, telur, dan cabai telah menekan daya beli masyarakat kelas bawah dan menengah yang semuanya berasal dari pekerja atau karyawan, di mana kenaikan penghasilan (gaji) mereka tidak sebanding dengan kenaikan harga barang, atau kenaikan penghasilan tidak sebanding dengan kenaikan investasi.

Penulis teringat dengan teori Thomas Piketty ekonom asal Perancis dalam bukunya Capital in The Twenty First Century yang menjelaskan ketimpangan ekonomi terjadi karena adanya fenomena r>g, atau imbal hasil investasi kapital selalu lebih besar dibanding-kan pertumbuhan ekonomi. Keadaan inilah yang menyebabkan orang kaya pemilik modal terus bertambah kaya, sedangkan masyarakat biasa tanpa modal, hidupnya akan makin sulit. Situasi ini memang terjadi demikian, misalnya maksimal gaji karyawan naik dikisaran 5%—10% per tahun, itu pun jika perusahaan dalam kondisi sedang baik-baik saja, jika tidak, maka gaji akan tetap, jika diambil secara rata-rata kenaikan UMP (Upah Minimum Provinsi) berkisar 6,5%, sedangkan laba perusahaan menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat laba bersih agregat emiten (perusahaan tercatat di bursa) mengalami kenaikan rata-rata 21,20% pada semester I/2025.

Dari data di atas terdapat jurang yang lebar antara tingkat pendapatan masyarakat dan pertumbuhan penambahan investasi. Situasi ini yang memperlemah daya beli masyakat, sehingga perekonomian menjadi terganggu.

BEBAN PAJAK

Memang ada banyak variable yang dapat memengaruhi lemahnya daya beli masyarakat, tetapi salah satu variabel yang penting adalah beban pajak. Bicara soal kelas pekerja dan karyawan pastinya berhubungan dengan pajak penghasilan dari wajib pajak penghasilan orang pribadi yang disingkat menjadi PPh WP OP dan PPh pasal 21.

Dalam perhitungan PPh WP OP dan PPh pasal 21 ada yang dinamakan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak), hal ini berfungsi untuk menjadi pengurang penghasilan yang dikenakan pajak. Selain itu, PTKP berfungsi sebagai ambang batas penghasilan minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup.

Dengan tidak memajaki penghasilan di bawah ambang batas ini, sistem pajak menjadi lebih adil, memastikan bahwa individu atau keluarga berpenghasilan rendah tidak terbebani kewajiban pajak yang dapat mengganggu kemampuan mereka memenuhi kebutuhan pokok. Logika ekonomi berkesimpulan bahwa PTKP mendongkrak daya beli masyarakat, khususnya kelompok menengah ke bawah. Hal ini dapat mendorong konsumsi domestik dan pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh.

Saat ini, besaran PTKP untuk WP sendiri (TK/0) 54 juta per tahun atau Rp4,5 juta per bulan. Tambahan Wajib Pajak Kawin Rp4,5 juta per tahun, dan tam-bahan setiap tanggungan Rp4,5 juta per bulan. Tarif PTKP yang digunakan ini sudah terjadi sejak 2016. Berdasarkan data Bank Indonesia, perincian inflasi (2016—2024) berturut-turut 3,03%, 3,61%, 3,12%, 2,72%, 1,68%, 1,87%, 5,51%, 2,61%, dan 1,57%. Angka inflasi tersebut jika dijumlahkan didapati angka inflasi 25,72% (selama 10 tahun), sehingga PTKP tersebut kemungkinan sudah tidak relevan untuk digunakan dan perlu dibuat kajian khusus yang mendalam, sehingga meringankan masyarakat dalam membayar pajak.

Beban pajak ringan akan menciptakan stimulus daya beli masyarakat yang secara otomatis akan mem-buat perkonomian ikut bergerak naik.

Namun, diperlukan kajian yang cermat dan komprehensif sebelum menaikkan PTKP mengingat pembiayaan negara kita yang besar. Tahun 2025 saja, APBN kita untuk pembiayaan negara sebesar Rp3.527 trilun, dan sekitar 82,1% dibiayai dari sektor pajak. Konstibusi pajak penghasilan dari orang pribadi sekitar 15,7 % dari total penerimaan pajak.

Sesuatu cukup signifikan hasil dari pajak penghasilan orang pribadi. Jika perhitungan meleset, maka akan menekan penerimaan negara secara signifikan, maka diperlukan subtitusi dari penerimaan negara yang lain dan tentunya diperlukan kajian mendalam agar tidak keliru dalam membuat kebijakan yang krusial ini.