APEDNAS Jatim Kecam Lambannya Pemerintah Desa, Kehilangan Dana Desa Rp10 Miliar Lebih

APEDNAS Jatim Kecam Lambannya Pemerintah Desa, Kehilangan Dana Desa Rp10 Miliar Lebih

Pacitan (beritajatim.com) – Polemik gagal cairnya Dana Desa (DD) tahap II di Kabupaten Pacitan terus memantik reaksi keras. Ketua Asosiasi Badan Permusyawaratan Desa Nasional (APEDNAS) Jawa Timur, Badrul Amali, mengecam lambannya kinerja pemerintah desa hingga membuat anggaran lebih dari Rp 10 miliar tak dapat dicairkan.

Menurut Badrul, persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari ketidaksiapan perangkat desa dalam memenuhi persyaratan administrasi, baik sekretaris desa maupun bendahara. Ia menegaskan persoalan ini bukan sekadar soal regulasi baru.

“Ini murni ketidaksiapan pemerintah desa, khususnya yang membidangi. Entah sekretaris desa atau bendahara desa,” tegas Badrul, Kamis (4/11/2025).

Ia menyebut, kerugian akibat gagal cairnya DD tahap II sangat dirasakan masyarakat. Program yang seharusnya dinikmati warga terancam tidak terlaksana, atau bahkan menimbulkan masalah baru.

“Bagi BPD, ini fenomena luar, program tidak bisa dinikmati masyarakat atau program sudah jalan tapi uangnya tidak ada. Ini harus disikapi oleh bupati. Harus jelas siapa yang bertanggung jawab,” tegasnya.

Badrul menilai alasan yang selama ini disampaikan terkait Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 81 tidak tepat. Pasalnya, syarat pencairan dana desa merupakan prosedur rutin setiap tahun. “Syarat itu sudah biasa dilakukan desa setiap tahunnya, jadi tidak karena PMK 81. Dengan atau tanpa PMK 81, ini tetap tanggung jawab desa,” ujarnya.

Ia mengungkap, ada sejumlah masalah yang menjadi penyebab teknis, mulai dari laporan tahap I yang tidak lengkap, realisasi tahun sebelumnya yang masih bermasalah, hingga keterlambatan pengajuan dokumen. “Dalam jangka waktu Mei sampai September, desa sudah bisa mengajukan persyaratan tahap II. Namun faktanya tidak dilakukan,” tambahnya.

Akibat kelalaian itu, sebanyak 45 desa di Pacitan kehilangan hak pencairan DD tahap II. Nilainya bervariasi, mulai dari Rp 80 juta hingga Rp 400 juta per desa. “Desa mencari anggaran sebesar itu ya berat. Lah ini ada anggaran, tapi disia-siakan,” kritik Badrul.

Ia berharap pemerintah kabupaten segera mengambil langkah tegas, melakukan evaluasi, serta memastikan kejadian serupa tidak terulang. “Ini bukan persoalan sepele. Dampaknya langsung dirasakan masyarakat. Harus ada pertanggungjawaban,” tutupnya. (tri/kun)