Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengungkapkan sederet hal yang menjadi tantangan dan hambatan, yang berdampak pada lambatnya adopsi Internet Protocol Version 6 atau IPv6 di Indonesia.
Per 2025, penetrasi IPv6 secara nasional baru mencapai hampir 18%. Jauh tertinggal dari negara tetangga seperti Malaysia yang telah mencapai 72%, Vietnam sebesar 63%, dan Thailand yang telah 50%.
Ketua Umum APJII Muhammad Arif mengungkapkan, capaian tersebut pun baru tampak signifikan usai operator telekomunikasi seperti Telkomsel, Indosat Ooredoo, dan XL Smart, berbondong-bondong mengimplementasikannya.
“Ini adalah kemajuan nyata, tetapi tentu saja belum cukup,” ujarnya dalam IPv6 Enhanced Net5.5G Conference 2025, Kamis (4/12/2025).
Pasalnya, sisa alamat IPv4 global yang beredar di pasar sekunder mengalami kenaikan harga. Terkadang dimanipulasi, terkadang disimpan, dan semakin diperlakukan sebagai komoditas spekulatif.
Arif memandang bahwa dinamika ini merugikan ISP kecil, membatasi inovasi, dan memperlebar ketidaksetaraan.
APJII meyakini bahwa keamanan IPv4 tidak boleh dibiarkan menjadi alat monopoli atau kelas aset spekulatif. Satu-satunya solusi etis dan berkelanjutan adalah percepatan adopsi IPv6 secara nasional di Indonesia.
Melalui keterlibatan dengan ratusan ISP, nyatanya terdapat empat hal yang masih menjadi hambatan dalam adopsi.
Pertama, penggunaan IPv6 dilihat tidak memberikan keuntungan bisnis. Saat ini, masih banyak operator melihat IPv6 hanya menambah beban biaya, bukan keuntungan. Kedua, beban biaya yang besar karena keharusan peningkatan infrastruktur dan memerlukan modal yang tentunya tidak sedikit.
Ketiga, masih minim tenaga ahli yang memiliki pengalaman praktis soal IPv6. Khususnya soal routing, mekanisme transisi, dan keamanan. Keempat, banyak inisiatif adopsi yang berjalan sendiri-sendiri dan tidak terkoordinasi dengan baik.
Migrasi bagi ISP kecil pun telah dilakukan uji coba, terutama yang mengalami masalah keamanan pada IPv4.
APJII bersama Indonesia Network Information Center (IDNIC) yang didukung oleh Dana Inovasi Masyarakat Informasi (Information Society Innovation Fund/ISIF), melaksanakan uji coba jaringan FTTX hanya IPv6 menggunakan 464XLAT.
Hasilnya sangat mencolok, yang menunjukkan lebih dari 50.000 pengguna terhubung. Kemampuan IPv6 meningkat dari 0% menjadi lebih dari 90%. Ketergantungan pada Signet berkurang secara signifikan.
Sistem operasi modern seperti Android dan Linux beroperasi dengan lancar. Skalabilitas dan efisiensi jaringan meningkat.
Saat ini, IPv6 hanya diterapkan oleh operator besar dan tidak didukung oleh peningkatan keamanan routing atau pengembangan kapasitas untuk ISP kecil.
Prioritas Nasional
Untuk menutup kesenjangan antara potensi dan implementasi aktual, APJII mengusulkan lima prioritas nasional.
Pertama, perangkat IPv6 yang terjangkau seperti CPE, ONT, dan perangkat lain. Kedua, pelatihan teknis yang diperluas dan pengembangan pedagang lokal. Ketiga, model bisnis yang jelas untuk migrasi dual-stack dan IPv6-only.
Keempat, integrasi KPI IPv6 ke dalam program nasional seperti NET5, 5G, dan SPBE. Kelima, solusi terintegrasi, perangkat, dan pelatihan.
“Ini adalah langkah-langkah nyata dan dapat dilaksanakan yang dapat memberikan dampak nasional yang terukur untuk pertumbuhan IPv6 di masa depan,” tambahnya.
Di samping itu, Indonesia membutuhkan peta jalan nasional IPv6 yang terkoordinasi, sehingga tak bergerak secara individu.
Arif menuturkan, peta jalan ini harus mengintegrasikan tiga lapisan. Mulai dari pemberdayaan kebijakan, menyelaraskan kementerian, regulator, dan program nasional untuk memastikan mandat IPv6 sesuai dan insentif strategis.
Pemerintah juga perlu mematok target adopsi dan mekanisme pendanaan untuk penetrasi IPv6 yang lebih massif. Selain itu, juga mempersiapkan kesiapan ekosistem di Indonesia.
