Magetan (beritajatim.com) — Para gawagis dan kiai kampung Kabupaten Magetan berkumpul usai ramainya kabar terkait keretakan NU, Jumat (28/11/2025). Mereka berkumpul menyampaikan satu pesan penting: NU jangan retak. Kami ingin islah.
Pertemuan Komunitas K-Mebul (Marek Bareng Ulama) berlangsung penuh keheningan yang sarat makna. Ada kekhawatiran kehilangan rumah besar bernama Nahdlatul Ulama, namun pada saat yang sama tumbuh harapan kuat bahwa para masyayikh PBNU memilih jalan damai — jalan islah, jalan yang menjadi napas pesantren sejak dulu.
Di tengah lantunan shalawat yang mengalun pelan, Koordinator gawagis Magetan sekaligus Pengasuh Pesantren Unggulan An Najah Darul Ulum Poncol, Gus Toev, akhirnya angkat suara. Getaran halus terdengar dari nada bicaranya, seolah ia berusaha keras menahan haru yang hampir pecah.
“Kami para pengasuh di pelosok, sungguh sangat prihatin. Tapi kami yakin, para masyayikh di PBNU akan mengedepankan islah. Karena NU bukan milik kursi dan jabatan — NU adalah rumah kami. Tempat kami berteduh dari dulu hingga mati,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Sejenak ruangan terdiam. Beberapa kiai menunduk, ada yang memejamkan mata, seakan mengirim doa panjang dari desa menuju pusat organisasi.
K-Mebul menyadari bahwa mereka bukan tokoh besar. Mereka kiai kampung — mengajar ngaji anak-anak yang kadang datang tanpa sandal, menyalakan lampu pesantren yang sesekali meredup saat listrik menunggak. Namun, justru dari tempat yang sederhana itu suara paling jujur lahir.
Mereka tidak meminta jabatan, tidak mencari sorotan kamera. Yang mereka minta hanya satu: NU tetap satu.
Sebab jika NU retak, bukan hanya struktur organisasi yang goyah. Tetapi juga mimbar kecil mushola desa, suara ngaji subuh yang membangunkan kampung, dan mimpi ribuan santri kecil yang berharap menjadi penerus ulama.
Meski kegelisahan terasa begitu nyata, pertemuan malam itu bukan ruang putus asa. Di antara desah napas dan lantunan shalawat, tumbuh keyakinan bahwa selama doa masih naik ke langit, harapan tidak akan padam.
“PBNU adalah pesantren besar,” lanjut Gus Toev dengan nada tegas namun bergetar.
“Kami yakin para masyayikh lebih ingin merangkul daripada menjauh. Kami menunggu kabar islah — dan kami siap patuh. Kami ingin pulang membawa berita baik untuk santri kami,” lanjutnya.
Di akhir acara, para kiai saling menggenggam tangan. Tangan-tangan renta itu seakan menguatkan satu sama lain, memberi pesan senyap: Jika langit gelap, mari kita tetap menyalakan lilin. [fiq/ted]
