Fraksi Gerindra Soroti Kekalahan Delta Tirta di Pengadilan: Direktur Utama Diingatkan Soal Etika Pelayanan Publik

Fraksi Gerindra Soroti Kekalahan Delta Tirta di Pengadilan: Direktur Utama Diingatkan Soal Etika Pelayanan Publik

Sidoarjo (beritajatim.com) – Kekalahan Perumda Delta Tirta dalam Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 994/PDT/2025/PT DKI, yang mewajibkan perusahaan membayar lebih dari Rp1,2 miliar kepada vendor, memicu reaksi keras dari Ketua Fraksi Gerindra DPRD Sidoarjo, H. Ahmad Muzayin Safrial.

“Fraksi Gerindra Kab. Sidoarjo menyebut putusan tersebut menjadi bukti nyata bahwa pengelolaan kewajiban perusahaan daerah tidak dapat dianggap sebagai urusan administratif internal semata, melainkan berkaitan langsung dengan kepatuhan hukum dan etika penyelenggara layanan publik,” tulisnya melalui rilis yang diterima beritajatim.com, Jumat (28/11/2025).

Dalam konteks itu, pernyataan Direktur Utama Delta Tirta, Dwi Hary Soeryadi, yang sebelumnya mengklaim bahwa proses reklasifikasi utang usaha meragukan telah sesuai standar akuntansi dan hukum, dinilai tidak etis oleh Fraksi Gerindra.

Muzayin mengingatkan bahwa sebagai penyelenggara pelayanan publik, seorang direktur utama terikat pada ketentuan etik sebagaimana tercantum dalam Pasal 4, Pasal 17, dan Pasal 34 UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Aturan tersebut mewajibkan pejabat memberikan informasi yang benar, tidak menyesatkan, transparan, serta menghormati proses hukum.

“Kewajiban etis ini diperkuat dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) dalam UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, terutama asas kecermatan, keterbukaan, kepastian hukum, dan kewajiban untuk tidak menyalahgunakan kewenangan,” tegasnya.

Menurutnya, ketika direktur utama memberikan pernyataan sepihak mengenai kepatuhan hukum tanpa dokumen pendukung, terlebih saat perusahaan baru saja kalah di pengadilan, maka komunikasi tersebut dapat berpotensi melanggar kode etik pelayanan publik.

Muzayin menjelaskan bahwa pelanggaran etika memiliki konsekuensi nyata. Berdasarkan UU 25/2009 serta ketentuan tata kelola BUMD dalam PP 54/2017, pejabat yang memberikan informasi tidak akurat atau menyesatkan dapat dikenai teguran, evaluasi kinerja, pembinaan, bahkan pemberhentian apabila mengakibatkan kerugian publik atau merusak kepercayaan masyarakat.

Selain itu, tindakan yang tidak cermat atau melanggar asas kepastian hukum berpotensi dikategorikan sebagai maladministrasi dan menjadi objek pemeriksaan Ombudsman. Jika kemudian menimbulkan kerugian keuangan, keputusan tersebut juga bisa berimplikasi pada tanggung jawab pribadi pejabat terkait.

Fraksi Gerindra menegaskan bahwa penghapusan utang usaha meragukan, terutama terhadap vendor yang dianggap tidak merespons, tidak bisa dilakukan sepihak tanpa dasar legal formal yang kuat. Ia menyoroti bahwa dalam hukum administrasi negara, diamnya pihak lain tidak dapat menjadi dasar penghapusan hak tagih.

Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menyatakan Delta Tirta tetap berkewajiban membayar barang yang telah diterima sejak 2015, menurutnya, semakin memperjelas bahwa kewajiban hukum tidak bisa hilang hanya melalui penataan akuntansi internal.

“Saya menilai bahwa pernyataan direktur utama tentang reklasifikasi justru memperlihatkan kurangnya kehati-hatian dalam komunikasi publik,” tukasnya.

Ia menilai bahwa dalam kondisi perusahaan baru saja menerima putusan pengadilan yang merugikan, pejabat publik seharusnya menunjukkan sikap hormat terhadap proses hukum, bukan membentuk opini publik seolah-olah seluruh proses internal perusahaan telah sempurna.

Fraksi Gerindra meminta Delta Tirta membuka seluruh dokumen pendukung reklasifikasi untuk diperiksa secara menyeluruh, mulai dari bukti transaksi, korespondensi dengan vendor, catatan hukum, hingga dasar keputusan manajemen.

Menurut Muzayin, transparansi penuh sangat penting agar pembenahan tata kelola BUMD berjalan berdasarkan prinsip hukum dan etika publik, bukan sekadar narasi pembenaran internal.

“Sebagai penyelenggara layanan air minum, Delta Tirta harus menjaga integritas publik, bukan hanya membangun citra kelembagaan,” tegasnya. [isa/beq]