Kemkomdigi Buka Peluang Blokir Gim Online Usai jadi Modus Rekrut Anak ke Jaringan Teror

Kemkomdigi Buka Peluang Blokir Gim Online Usai jadi Modus Rekrut Anak ke Jaringan Teror

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) menjelaskan kans memblokir gim online usai jadi modus rekrutmen anak oleh jaringan terorisme.

Dirjen Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Alexander Sabar mengatakan pemerintah bakal memblokir game online apabila game tersebut menyalahi aturan.

“Kalau IGRS [Indonesia Game Rating System] nya tidak di patuhi, aturan-aturan yang ada di situ tentu ada sanksi administrasi yang kita berikan,” ujar Alexander di Mabes Polri, Selasa (18/11/2025).

Dia menjelaskan, contoh kasus soal pemblokiran game online. Misalnya, pihak gim online atau developer melaporkan bahwa permainannya itu masuk dalam kategori yang beresiko rendah.

Namun, dari fakta yang ada, game online tersebut ternyata masuk dalam kategori risiko tinggi. Dalam hal ini, Kemkomdigi bisa memberikan sanksi pemutusan akses terhadap game online tersebut.

Aturan inipun, kata Alex, sudah jelas tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas).

“Kita menemukan bahwa ternyata dia adalah risiko tinggi tetapi dia tetap akses pada anak. Ada sanksi administrasi yang bisa kita berikan. Mulai dari surat teguran sampai dengan pemutusan akses [blokir],” tutur Alex.

Dia juga mengemukakan bahwa aturan dari PP Tunas ini telah lebih unggul dibandingkan dengan negara lain, misalnya Australia. Sebab, PP Tunas mengatur produk, layanan hingga fitur.

“Jadi, dengan PP Tunas sendiri kita mengatur, bahkan kalau dikatakan, PP Tunas kita ini lebih kedepan. Kenapa? Karena kalau di Australia dia hanya mengatur media sosial, kalau PP tunas itu mengatur produk, layanan dan fitur,” pungkasnya.

Sebelumnya, Jubir Densus 88 Anti-teror Polri, Mayndra Eka Wardhana mengemukakan game online telah dimanfaatkan untuk merekrut anak masuk dalam jaringan terorisme.

Dia menjelaskan, teroris ini memakai fasilitas komunikasi di dalam game online untuk merekrut anak. Dari interaksi dalam saluran game online itu terbentuk komunikasi. Setelah itu, perekrut kemudian melakukan komunikasi dengan anak melalui kanal yang lebih privat.

Salah satu saluran itu yakni grup dari aplikasi pesan online yang lebih terenkripsi dan tidak bisa diakses oleh umum. Di dalam grup itulah kemudian terjadi doktrinisasi paham radikal.

“Kemudian diarahkan kepada grup yang lebih privat, grup yang lebih kecil, dikelola oleh admin ini ya. Di situlah proses-proses indoktrinasi berlangsung,” tutur Mayndra.