Ribut-ribut Sesama Dokter gara-gara Polemik ‘Rahim Copot’, POGI Bilang Begini

Ribut-ribut Sesama Dokter gara-gara Polemik ‘Rahim Copot’, POGI Bilang Begini

Jakarta

Kisah dokter sekaligus influencer kesehatan, dr Gia Pratama, soal kasus langka yang ditanganinya, rahim wanita diduga ‘copot’ akibat penanganan dukun beranak, viral di media sosial. Namun, alih-alih fokus pada edukasi medis, perdebatan melebar ketika beberapa dokter obgyn menanggapi cerita dengan nada yang dinilai netizen terkesan nyinyir atau tampak membully sesama sejawat.

“Versi dr Gia: rahim copot, versi SpOG: inversio uteri, versi netizen: wah seru nih dokter-dokternya berantem bully2an,” respons salah satu netizen terkait kasus viral.

Melihat kegaduhan yang muncul, Ketua Umum Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Prof Budi Wiweko menegaskan penyampaian informasi medis ke masyarakat harus tetap berada dalam koridor etik dan profesionalisme.

Ia menyebut organisasi profesi memiliki pedoman jelas terkait bagaimana dokter menyampaikan informasi di media sosial.

“Nggak lah, sebenarnya kita sudah ada panduannya,” beber Prof Budi saat dihubungi detikcom Senin (17/11/2025).

“Dalam memberikan informasi di media sosial, prinsipnya kita menjunjung tinggi aspek etik, profesionalisme, dan kompetensi di bidang kedokteran, sehingga edukasi yang disampaikan bermanfaat bagi masyarakat.”

Ia menegaskan tujuan edukasi medis adalah mencegah terjadinya komplikasi serius seperti inversio uteri.

“Tentu kan tujuannya mencegah, jangan sampai terjadi setelah persalinan akibat plasenta ditarik paksa. Itu bisa berbahaya, bisa terjadi inversio uteri dan bisa menyebabkan kematian,” tegasnya.

Menurut Prof Budi, organisasi profesi termasuk Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sudah memiliki rambu-rambu yang jelas mengenai bagaimana dokter harus berkomunikasi kepada publik.

“Untuk menyampaikannya sudah ada koridor secara etik, sudah ada rambu-rambu yang disusun IDI. Saya kira tinggal mengikuti saja,” ujarnya.

Ia menegaskan fokus POGI tetap pada pentingnya informasi yang benar dan edukatif.

“Yang kita inginkan itu sederhana saja, informasi yang disampaikan ke masyarakat harus benar,” kata Prof Budi.

“Tidak untuk menyalahkan, tidak untuk menjelekkan, tidak untuk buat bingung masyarakat. Yang jelas, bila ingin menyampaikan sesuatu di media sosial, sampaikan informasi yang bermanfaat,” pungkasnya.

Terkait kejadian yang diceritakan dr Gia, Prof Budi menguraikan bahwa ada kondisi tertentu yang membuat proses pengeluaran plasenta tidak selalu sederhana. Plasenta bisa melekat terlalu kuat (akreta, inkreta, perkreta) dan dalam beberapa kasus memerlukan tindakan manual hingga operasi atau pengangkatan rahim.

Intervensi yang terlalu agresif juga bisa menyebabkan komplikasi fatal seperti inversio uteri, ketika rahim terbalik dan tertarik keluar melalui vagina.

“Itu kondisi yang sangat berbahaya. Bisa menyebabkan perdarahan hebat, syok, bahkan meninggal dunia,” jelasnya.

Namun ia mengingatkan, tanpa melihat langsung kondisi pasien, tidak dapat dipastikan apa yang sebenarnya terjadi dalam kasus tersebut.

Di tengah perdebatan yang dinilai semakin ‘liar’ di media sosial, Prof Budi mengajak semua tenaga kesehatan menjaga profesionalisme publik. Prof Budi menegaskan bahwa pembahasan medis harus kembali ke tujuan utamanya, meningkatkan edukasi dan mencegah kejadian serupa.

“Yang penting itu keselamatan ibu. Kita ingin masyarakat mendapatkan informasi yang benar, bukan yang membingungkan. Dan tugas dokter adalah memberikan itu dengan cara yang profesional,” tutupnya.

Halaman 2 dari 3

(naf/up)

Ribut Sesama Dokter soal Rahim Copot

8 Konten

Polemik kasus viral ‘rahim copot’ meluas. Tidak adanya dokumentasi formal dan ilmiah membuat sebagian dokter senior meragukan kasus tersebut, dan mengaitkannya dengan kondisi yang lebih mungkin terjadi: inversio uteri.

Konten Selanjutnya

Lihat Koleksi Pilihan Selengkapnya