“Mingkemnya” Pers Disentil Purbaya

“Mingkemnya” Pers Disentil Purbaya

“Mingkemnya” Pers Disentil Purbaya
Jurnalis, Mahasiswa S3 Ilmu Politik
MENTERI
Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyentil pers yang “mingkem”, tidak berani melontarkan kritik kepada pemerintah. Kritik itu disampaikan Purbaya dalam acara yang digelar Forum Pemimpin Redaksi di Jakarta, Minggu 16 November 2025.
Kritik Purbaya ini menarik dan mengandung separuh kebenaran.  PK Ojong punya pandangan yang senada.
Pers
dibuat bukan untuk menjilat kekuasaan.  Kritik pers memang dibutuhkan karena kekuasaan itu  cenderung korup. Pada saat ini, kritik pers justru amat dibutuhkan ketika bangsa sedang mengalami krisis representasi.  
DPR mengalami apa yang disebut Carl Schmitt sebagai telah kehilangan dasar moral dan spiritualnya. Itu ditulis Schmitt dalam buku
The Crisis of Parliamentary Democracy
, 1923. Selain pers yang “mingkem”, DPR, DPD, ormas pun sebenarnya “mingkem” melihat praktik politik penuh ketidakadilan. Dalam bahasa pemikir kebhinekaan, Sukidi, bangsa sedang dibangun dalam situasi republik ketakutan (
republic of fear
).
Gejala pers yang “mingkem” sudah ditengarai Daniel Dhakidae dalam disertasinya di Cornel tahun 1991. Dalam disertasi
The State, the Rise of Capital, and the Fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesian News Industry
, Daniel memprediksi sistem pers Orde Baru dengan kontrol kertas di tangan pemerintah akan menciptakan situasi menjadi akhir dari jurnalisme politik (
the end of political journalism
).
Kritik Purbaya disebut sebagai separuh kebenaran karena sebenarnya ada juga pers, katakan Tempo, yang berani mengkritik pemerintahan secara lugas dan tegas terhadap tata kelola pemerintahan. Namun kini, Tempo tengah menghadapi gugatan ganti rugi Rp 200 miliar oleh Menteri Pertanian. Bisa saja pandangan Purbaya adalah pandangan pribadi seorang menteri berbeda dengan menteri yang lain.
Dalam praktik selama ini, dalam lingkungan komunitas pers, tertangkap suasana kebatinan bahwa pemerintah lebih suka dengan berita-berita positif, terlebih  pujian. Dalam beberapa kejadian selalu ada upaya tangan tak kelihatan untuk mengendalikan pers bebas yang memang sedang dalam tahapan
survival mode
. “Padahal, pujian adalah
silent killer
,” kata Sukidi, dalam sebuah pernyataan di Forum Warga Negara.
Ini berbeda misalnya dengan pandangan Ali Sadikin. Ali Sadikin dalam satu wawancara pernah mengatakan, “… wartawan itu karyawan pemerintah yang tidak dibayar negara. Tugasnya justru mengkritik kebijakan pemerintah….,” kata Ali Sadikin.
Tapi apakah pejabat kita seterbuka Ali Sadikin menerima kritik dari
media
sebagaimana disampaikan Purbaya.
Sejak lama, media disebut sebagai pilar keempat demokrasi—
the fourth estate
—setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Media dimandatkan untuk mengawasi kekuasaan, menyediakan informasi publik, dan menjadi forum deliberasi bagi warga negara.
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam The Elements of Journalism menulis: “Kewajiban pertama jurnalisme adalah kepada kebenaran, dan kesetiaan pertamanya adalah kepada warga.”
 Namun kini, secara umum posisi media itu goyah. Bukan karena hilangnya idealisme, tetapi karena dua tekanan besar: krisis ekonomi di dalam industri media, dan dominasi algoritma di luar ruang redaksi. Media berdiri di persimpangan: antara bisnis dan etika, antara klik dan kebenaran.
Industri media kini menghadapi guncangan struktural yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pendapatan iklan berpindah ke platform digital seperti Google, Meta, dan TikTok. Ruang redaksi kehilangan kemandirian ekonomi, sementara pemilik modal semakin berkuasa menentukan arah pemberitaan. Robert McChesney menyebut fenomena ini sebagai
market censorship
— sensor pasar—di mana bukan negara yang menekan
kebebasan pers
, tetapi logika bisnis yang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh diberitakan.
Konsentrasi kepemilikan membuat media kerap kehilangan keberanian moral. Liputan investigative berkurang.  Isu publik tergantikan oleh sensasi politik. Kecenderungan media menjadi pelapor fakta. Namun, tentunya masih ada media yang mencoba menjalankan jurnalisme advokatif.
Selain krisis ekonomi, kita juga menghadapi krisis suara. Manuel Castells, dalam
Communication Power
, mengatakan: “Kekuasaan di era informasi adalah kekuasaan untuk memprogram arus komunikasi.”
Buzzer politik, influencer, dan mesin algoritma kini bertindak sebagai “editor baru” ruang publik. Mereka menentukan apa yang trending, bukan apa yang penting. Mereka menyebarkan emosi, bukan pengetahuan. Kita hidup dalam demokrasi simulatif: terlihat ramai, tapi kehilangan kedalaman. Setiap warga seolah punya suara, tapi suara-suara itu dikendalikan oleh kekuatan yang tak terlihat— oleh mesin, oleh modal, oleh kepentingan politik. Buzzer telah menjadi industri. Tapi apakah itu kebenaran? Belum tentu.
Saat Revisi UU KPK (2019) terjadi, bagaimana
cyber troops
dikerahkan untuk mendelegitimasi KPK dengan narasi “KPK sarang Taliban” dan narasi lain untuk menggolkan agenda politik revisi UU KPK dan kemudian berhasil. KPK berhasil dilumpuhkan melalui operasi kartel partai politik dalam lima hari.
Krisis media juga merupakan krisis relasi kekuasaan. Media tidak lagi di luar kekuasaan, tetapi menjadi bagian dari arena kekuasaan itu sendiri. Kita menyaksikan munculnya oligarki informasi— di mana konglomerasi media dan politik menyatu dalam kepentingan yang sama.
Hasilnya: ruang redaksi kehilangan otonomi, dan kebebasan pers berubah menjadi kebebasan bagi pemilik modal. McChesney pernah mengingatkan: “Kebebasan pers tanpa kebebasan ekonomi redaksi adalah kebebasan semu.”
Inilah paradoks media hari ini: secara hukum bebas, tetapi secara struktural terpenjara. Ketika kekuatan politik, kekuatan ormas, kekuatan media berada dalam satu tangan, bukankah  itu merupakan tanda-tanda awal dari totalitarianisme?
Namun, krisis ini bukan akhir. Ia bisa menjadi awal kebangkitan baru bagi media— jika media berani kembali pada akarnya: etika, empati, dan keberpihakan serta dukungan publik.
Apakah publik mendukung jurnalisme yang sehat? Jurnalisme bukanlah propaganda. Jurnalisme yang membuka ruang perdebatan publik.  Esensi jurnalisme adalah mengingatkan yang mapan (
polite watch dog
), menghibur yang papa. Namun itu juga sepenuhnya tergantung pengurus negara. 
Ada empat langkah yang harus ditempuh.
Media harus kembali pada misi moralnya: berpihak pada publik, bukan kekuasaan. Mengutip Budayawan/Rohaniawan GP Sindhunata: bagaimana menjaga agar “danyang” jurnalisme tidak
oncat
atau mencelat dari ruang jurnalisme. “Danyang” adalah istilah dalam bahasa Jawa yang cenderung ada unsur mistis dan magis. Tapi “danyang” bisa diartikan sebagai roh yang menggerakan jurnalisme, nilai yang diperjuangkan dalam jurnalisme. Apakah “danyang” jurnalisme masih ada? Ada untuk beberapa media.
Bill Kovach menulis, “Verifikasi lebih penting daripada viralitas.” Kecepatan bukan ukuran profesionalisme; integritaslah yang utama.
Kemandirian ekonomi adalah syarat mutlak bagi independensi redaksi. Model
membership journalism
atau
public funding
bisa menjadi jalan keluar. Kita bisa belajar dari The Guardian, ProPublica, atau di Indonesia— Tempo Investigasi, Project Multatuli. Itu sekadar contoh. Tapi intinya, perkembangan media membutuhkan dukungan publik dan  pemerintah. Perjuangan Forum Pemred memperjuangkan
No Tax For Knowledge
perlu dipertimbangkan Purbaya. Industri media yang sejatinya adalah industri pengetahuan masih dibebani begitu banyak pajak-pajak yang memberatkan.
Kebenaran adalah hasil kerja kolektif. Ekosistem kolaboratif—antara redaksi, universitas, dan NGO— akan memperkuat
fact checking
dan literasi publik. Dukungan pelanggan amat sangat menentukan. 
Negara harus hadir bukan untuk membungkam, tetapi melindungi jurnalisme dari tirani algoritma. Transparansi konten politik berbayar dan keadilan algoritmik adalah prasyarat demokrasi digital yang sehat.
Media boleh lemah secara industri, tetapi jika ia teguh pada moralitas kebenaran, ia tetap akan menjadi penjaga rasionalitas bangsa. Justice Hugo Black pernah berkata: “
Freedom of the press is not for the press itself, but for the people to know
.”
“Kebenaran adalah pekerjaan rumah harian demokrasi.”
Tugas media bukan hanya menyampaikan berita, tetapi menjaga nurani bangsa agar tetap waras dan  mengerakkan semangat berbela rasa, mengingatkan yang mapan dan menghibur yang papa, di tengah kebisingan digital. Di era suara sintesis, media sejati bukan yang paling keras, tetapi yang paling jujur. Namun itu semua membutuhkan dukungan publik.
Kritik Purbaya harus diterima. Namun, Purbaya perlu mengambill  langkah  melonggarkan beban pajak yang melilit industri pers. 
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.