Reformasi KORPRI Bondowoso Dimulai dari Pertanyaan ‘Uang ASN ke Mana?’

Reformasi KORPRI Bondowoso Dimulai dari Pertanyaan ‘Uang ASN ke Mana?’

Bondowoso, (beritajatim.com) — Beberapa jam setelah dikukuhkan sebagai Ketua Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) Bondowoso periode 2025–2030, Kamis (12/11/2025), Fathur Rozi langsung mengangsurkan nada waspada.

Ditemui beritajatim.com pasca paripurna siang harinya, ia menandaskan satu hal: tak ingin mengawali masa tugas dengan warisan yang tidak jelas. “Pengurus lama sudah tidak ada. Tapi laporan kegiatan, terutama keuangan, tetap wajib dipertanggungjawabkan,” katanya.

Rozi memastikan proses serah terima tak akan berjalan simbolis belaka. “Harus ada berita acara. Saya tidak mau memulai dari sesuatu yang tidak klir,” ucapnya. Pernyataan itu membuka tabir persoalan lama di tubuh KORPRI Bondowoso—persoalan yang selama bertahun-tahun mengendap tanpa kejelasan.

Isyarat keganjilan muncul dari temuan awal Rozi. Ia menyebut ada ‘perbedaan cukup signifikan’ pada laporan penerimaan iuran anggota dengan potensi pendapatan riil. Angkanya tidak kecil.

Dari rapat internal yang digelar sebelum pengukuhan, Rozi mendapati sejumlah perangkat daerah belum menerapkan sistem cashless. Mereka masih menyerahkan iuran secara manual kepada bendahara. Model setoran seperti ini, kata Rozi, membuka peluang terjadinya kebocoran.

“Masih ada yang setor (bayar iuran manual). Nah, yang seperti ini kemungkinan besar bisa bocor. Dan itu yang tidak kita inginkan lagi ke depan,” ujarnya.

Bahkan penggunaan aplikasi pun, menurut Rozi, sebenarnya tak diperlukan jika bendahara bekerja rapi. Masalahnya, bendahara periode sebelumnya sudah pensiun—meninggalkan jejak administrasi yang belum tuntas.

Beritajatim.com menelisik ulang pernyataan Rozi. Bondowoso memiliki sekitar 8.000 ASN. Sumber lain menyebut 8.900-an. Jika iuran dihitung rata-rata Rp10 ribu per bulan, potensi dana KORPRI mestinya mencapai Rp80 jutaan per bulan atau Rp960 juta per tahun. Dalam lima tahun, nominalnya bisa menyentuh Rp4,8 miliar.

Rozi menyebut saldo awal yang tercatat hanya sekitar Rp 800 jutaan. Angka itu masih harus ia verifikasi ulang. “Karena ini bukan uang personal tapi uang organisasi. Dan harus kembali ke ASN,” katanya.

Ia menyebut pemanfaatan dana mestinya digunakan untuk peningkatan kompetensi dan kapasitas ASN, bukan sekadar acara seremoni. Pertanyaan pun menggelayut: kemana selisih potensi miliaran rupiah itu?

Isu lain muncul: bolehkah ASN meminjam dana KORPRI? Rozi tak langsung menjawab. Ia meminta aturan organisasi dicek terlebih dahulu. Namun ia memberi sinyal bahwa mekanisme bantuan semestinya dimungkinkan.

“Kalau ada ASN sakit, boleh enggak pinjam? Selagi tidak menyalahi aturan dan ada komitmen mengembalikan, boleh. Itu bisa disesuaikan,” katanya.

Pernyataan itu membuka ruang penafsiran—apakah selama ini KORPRI sudah menjalankan fungsi kesejahteraan sebagaimana mandat organisasi, atau justru dana yang terkumpul lebih banyak beredar tanpa arah yang jelas.

Rozi berhati-hati ketika ditanya apakah ada penggunaan dana yang melenceng. Ia menolak menghakimi. “Saya tidak menganggap melenceng,” katanya. Ia hanya menyebut beberapa pos seperti peringatan HUT KORPRI dan tali asih untuk ASN pensiun ‘masih on the track’.

Namun ia tidak menyebut berapa nominalnya, apakah proporsional, atau apakah tercatat rapi. Ketidakjelasan inilah yang membuat sejumlah ASN sebelumnya mengeluhkan minimnya laporan pertanggungjawaban.

Rozi memilih menunggu audit internal sebelum menarik kesimpulan. “Jangan kita berprasangka buruk. Kita audit dulu. Ini kan baru pengukuhan, belum penyerahan berita acara,” ucapnya.

Namun satu hal yang pasti: reformasi KORPRI Bondowoso dimulai dari pertanyaan yang sederhana tetapi krusial: uang iuran ASN sebenarnya ke mana? [awi/suf]