Surabaya (beritajatim.com) – DPRD Jawa Timur menegaskan pentingnya penguatan Satgas Pencegahan Kekerasan dan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPK) di sekolah sebagai garda terdepan dalam mencegah kekerasan dan bullying di lingkungan pendidikan. Hal ini disampaikan Anggota Komisi E DPRD Jawa Timur, Cahyo Harjo Prakoso, saat melakukan monitoring bersama TPK Provinsi Jawa Timur di SMK 5 Surabaya, Jumat (14/11/2025).
Cahyo menekankan bahwa perlindungan terhadap tumbuh kembang peserta didik tidak bisa ditawar, baik dari sisi mental maupun intelektual. Ia menyebut ekosistem sekolah yang aman dan inklusif harus menjadi prioritas seluruh pemangku kepentingan.
“Betapa pentingnya kita berkomitmen menjaga ekosistem satuan pendidikan yang inklusif dan melindungi proses tumbuh kembang anak-anak, baik secara intelektual maupun mental,” ujarnya.
Menurut Cahyo, Jawa Timur telah memiliki fondasi regulatif yang jelas untuk mengatasi kekerasan di sekolah, mulai dari Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 hingga Perda Jawa Timur tentang penyelenggaraan pendidikan. Kedua regulasi tersebut mewajibkan pembentukan TPK di setiap satuan pendidikan sebagai bagian integral dari sistem perlindungan anak di sekolah.
“Kita sudah memiliki dasar hukum perlindungan, baik melalui Permendikbudristek maupun Perda Jawa Timur yang mengamanahkan pembentukan tim pencegahan dan penanganan kekerasan di setiap satuan pendidikan,” terang Ketua DPC Gerindra Surabaya ini.
Data Dinas Pendidikan Jawa Timur menunjukkan lebih dari 1.950 SMA/SMK negeri dan swasta telah membentuk TPK hingga 2025. Satgas tingkat provinsi juga mencatat sedikitnya 182 laporan kekerasan sepanjang 2024, meliputi bullying fisik, verbal, pelecehan, dan kekerasan digital. Angka tersebut diyakini masih merupakan fenomena gunung es karena banyak kasus tidak dilaporkan secara formal.
Cahyo menilai bahwa penguatan Satgas dan TPK menjadi kunci untuk mempercepat respons terhadap potensi kekerasan di sekolah. Menurutnya, akar persoalan sering kali tidak hanya ada di sekolah tetapi juga berasal dari keluarga sebagai lingkungan pertama pembentuk karakter anak.
“Kekerasan di sekolah tidak bisa kita hindari. Faktor utama datang dari lingkungan keluarga yang membentuk karakter dan suasana kebatinan anak-anak,” ujarnya.
Di hadapan guru dan kepala sekolah, Cahyo mengingatkan pentingnya budaya dialog dan keterbukaan antara tenaga pendidik, siswa, dan orang tua. Ia menegaskan bahwa seluruh siswa, termasuk mereka yang memiliki tantangan akademik atau mental, berhak mendapatkan perlakuan yang setara.
“Kita harus membuka ruang diskusi antara tenaga pendidik, anak-anak, dan wali murid. Semua siswa adalah bagian dari bangsa ini, bukan hanya mereka yang berprestasi secara akademik,” tegasnya.
Ia juga menguraikan bahwa Satgas Pencegahan Kekerasan di Jawa Timur bekerja melibatkan banyak OPD, termasuk Dinas Pendidikan dan Dinas P3AK. Pemerintah provinsi juga telah melakukan sosialisasi anti-kekerasan kepada lebih dari 6.000 guru dalam dua tahun terakhir dan menyediakan kanal aduan digital untuk siswa.
“Satgas pencegahan kekerasan sudah dibentuk lintas OPD, dan di setiap sekolah sudah ada TPK sebagai ruang pengaduan bagi siswa maupun orang tua,” jelasnya.
Meski struktur perlindungan telah dibangun, Cahyo menilai keberhasilan pencegahan kekerasan tidak boleh berhenti pada prosedur administratif. Ia menekankan perlunya kerja sama seluruh pihak agar penanganan kasus bisa lebih cepat, empatik, dan tidak terhambat oleh birokrasi.
“Yang paling penting adalah kita saling membuka diri dan introspeksi. Ini butuh kerja sama semua pihak dalam mempercepat penanganan kasus kekerasan dan potensi bullying di satuan pendidikan,” pungkasnya. [asg/beq]
