Komisi Reformasi Polri: Antara Harapan dan Ketakutan Lama
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
PRESIDEN
Prabowo Subianto melantik Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia pada Jumat, 7 November 2025, melalui Keputusan Presiden Nomor 122P Tahun 2025.
Langkah ini menjadi sinyal kuat bahwa reformasi Polri belum tuntas, bahkan masih mencari arah.
Komisi itu diketuai Jimly Asshiddiqie, dengan anggota yang terdiri dari sejumlah tokoh nasional: Mahfud MD, Yusril Ihza Mahendra, Tito Karnavian, Idham Azis, Badrodin Haiti, hingga Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo.
Komposisi ini di atas kertas tampak ideal—perpaduan antara intelektual, negarawan, dan mantan aparat tinggi
kepolisian
.
Namun, di tengah optimisme itu, publik menyimpan rasa ragu: apakah reformasi yang dipimpin oleh nama-nama besar ini akan melahirkan perubahan nyata, atau sekadar menjadi etalase politik yang indah di permukaan?
Presiden menegaskan bahwa tugas komisi ini adalah menata ulang struktur, kultur, dan tata kelola Polri agar sejalan dengan cita-cita reformasi 1998.
Ia juga menyampaikan bahwa masa kerja komisi tidak dibatasi waktu, tetapi hasil kerja harus tetap dilaporkan secara berkala.
Fleksibilitas ini memberi ruang bagi kerja mendalam, namun juga memunculkan kekhawatiran: tanpa batas waktu yang tegas, reformasi bisa kehilangan momentum dan arah.
Reformasi Polri hidup dalam bayang-bayang sejarah panjang kekuasaan. Setelah pemisahan dari ABRI pada 1999, Polri diharapkan menjadi lembaga sipil yang profesional dan tunduk pada hukum. Namun, bayangan masa lalu belum sepenuhnya hilang.
Sejumlah kasus besar telah menodai citra kepolisian dan menimbulkan jarak antara aparat dan masyarakat.
Fenomena ketidakpercayaan publik terhadap proses hukum mencerminkan betapa reformasi belum benar-benar menyentuh sisi moral dan kultural lembaga.
Tagar #PercumaLaporPolisi yang sempat viral beberapa tahun lalu, bukan sekadar keluhan, tetapi ekspresi luka kolektif atas lemahnya empati dan akuntabilitas hukum.
Di tengah bayangan itu,
Komisi Reformasi Polri
hadir membawa harapan sekaligus beban sejarah. Reformasi yang ditunggu bukanlah sekadar pembenahan struktur, tetapi pemulihan moral.
Publik tidak lagi menuntut jargon baru, melainkan perubahan sikap dan perilaku aparat. Karena pada akhirnya, keadilan bukan diukur dari jumlah peraturan, melainkan dari keberanian untuk menegakkan kebenaran.
Komisi Reformasi Polri memang tidak dibatasi masa kerja. Namun waktu bukanlah satu-satunya ujian. Ujian sejati justru terletak pada integritas dan keberanian moral para anggotanya.
Sebagian anggota komisi adalah figur yang pernah berada di lingkaran kekuasaan, bahkan pernah memimpin Polri.
Di satu sisi, pengalaman mereka menjadi modal penting untuk memahami kerumitan lembaga; di sisi lain, latar belakang itu bisa menimbulkan konflik kepentingan dan skeptisisme publik.
Maka, komisi ini tidak cukup hanya bekerja cerdas—ia harus bekerja jujur.
Reformasi Polri adalah pekerjaan yang menuntut keberanian untuk menembus batas loyalitas lama. Ia menuntut kejujuran untuk mengakui kesalahan masa lalu dan kebesaran hati untuk memperbaiki diri. Sebab yang sedang dibenahi bukan semata struktur organisasi, tetapi kepercayaan rakyat terhadap hukum itu sendiri.
Presiden telah memberi waktu seluas-luasnya, tetapi publik tidak akan memberi kesabaran tanpa batas. Mereka menunggu hasil, bukan janji; perubahan nyata, bukan laporan tebal.
Masalah Polri tidak hanya berhenti pada aturan hukum, melainkan berakar pada kebiasaan dan nilai. Peraturan bisa disusun ulang, tetapi kebiasaan buruk membutuhkan revolusi moral untuk diubah.
Selama dua dekade terakhir, Polri memang telah melakukan berbagai transformasi internal—dari program Presisi hingga penataan kelembagaan. Namun realitas di lapangan masih sering berseberangan dengan semangat perubahan itu.
Birokrasi yang hierarkis, budaya komando yang kaku, dan pola rekrutmen yang tak sepenuhnya transparan masih menjadi batu sandungan.
Kultur institusi yang terlalu menekankan loyalitas sering kali mematikan meritokrasi.
Dalam banyak kasus, keberanian aparat di lapangan untuk menegakkan hukum justru berhenti di tembok ketakutan terhadap atasan.
Ketika rasa takut lebih besar dari rasa tanggung jawab, maka hukum hanya menjadi formalitas yang kehilangan jiwa.
Komisi Reformasi Polri perlu memusatkan perhatian pada aspek ini. Sebab reformasi sejati tidak hanya melahirkan aturan baru, tetapi menumbuhkan manusia baru dalam seragam yang sama.
Dalam sistem presidensial Indonesia, Polri berada langsung di bawah Presiden. Hubungan hierarkis ini menempatkan Polri dalam posisi yang rumit—antara pelaksana hukum dan alat kekuasaan.
Di sinilah akar persoalan lama yang sulit disembuhkan: bagaimana memastikan Polri menjadi penjaga hukum, bukan pelayan politik.
Setiap rezim punya cara sendiri dalam memanfaatkan Polri sebagai penopang kekuasaan. Pada masa tertentu, Polri menjadi perpanjangan tangan penguasa; pada masa lain, ia menjadi tameng dari ketegangan sosial dan politik.
Kini, di bawah pemerintahan baru, publik menaruh harapan bahwa Polri tidak lagi dijadikan instrumen kekuasaan, melainkan mitra rakyat dalam menjaga keadilan.
Reformasi Polri, karena itu, tidak hanya menjadi ujian bagi lembaga kepolisian, tetapi juga bagi Presiden.
Prabowo Subianto akan diukur bukan dari seberapa sering ia bicara soal hukum, melainkan sejauh mana ia berani melepaskan kendali politik atas aparatnya.
Reformasi Polri akan menjadi cermin dari niat politik pemerintah: apakah ingin membangun negara hukum, atau sekadar memperhalus wajah kekuasaan.
Reformasi Polri sejatinya bukan proyek pemerintah, melainkan urusan moral bangsa.
Masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab untuk ikut mengawasi jalannya reformasi ini.
Komisi Reformasi Polri harus terbuka terhadap kritik dan masukan publik. Partisipasi masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga pengawas harus menjadi bagian dari mekanisme kerja.
Transparansi bukan sekadar formalitas, tetapi fondasi untuk membangun kembali kepercayaan yang lama hilang.
Hasil kajian dan rekomendasi komisi tidak boleh berhenti di meja Presiden. Masyarakat berhak tahu, sejauh mana polisi mereka mau berubah. Tanpa keterbukaan, reformasi hanya akan menjadi dokumen indah tanpa makna sosial.
Keterlibatan publik adalah penentu legitimasi. Reformasi yang disembunyikan dari rakyat hanya akan menimbulkan kecurigaan baru. Namun, reformasi yang melibatkan rakyat akan menjadi energi moral yang memperkuat institusi.
Setiap lembaga yang kehilangan integritas pada akhirnya akan kehilangan legitimasi.
Polisi tanpa kepercayaan publik hanyalah seragam tanpa makna.
Komisi Reformasi Polri lahir bukan di tengah pujian, melainkan di tengah krisis kepercayaan. Namun, justru di situlah peluang sejatinya berada: krisis memberi ruang bagi kejujuran baru dan keberanian moral untuk berubah.
Kini, bola ada di tangan komisi dan Presiden. Jika keduanya berani menegakkan hukum di atas kekuasaan, maka bangsa ini masih punya alasan untuk percaya pada masa depan.
Namun, jika reformasi hanya dijadikan tameng politik, publik akan kembali menyimpulkan: perubahan di negeri ini selalu berhenti di meja kekuasaan.
Reformasi Polri bukan soal lembaga, melainkan soal nurani. Ketika polisi kembali menjadi pelindung, bukan alat kuasa; ketika hukum ditegakkan bukan karena perintah, tetapi karena kebenaran—saat itulah rakyat bisa berkata dengan tenang: “Kami percaya hukum masih hidup.”
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Komisi Reformasi Polri: Antara Harapan dan Ketakutan Lama
/data/photo/2025/11/07/690e03cf4d5b1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)