Kebiasaan yang Berkaitan dengan Risiko Perdarahan di Otak, Picu Stroke-Demensia

Kebiasaan yang Berkaitan dengan Risiko Perdarahan di Otak, Picu Stroke-Demensia

Jakarta

Sebuah studi belakangan menunjukkan sleep apnea obstruktif bisa meningkatkan risiko mikroperdarahan baru di otak. Hal ini otomatis berpengaruh pada risiko stroke, demensia, hingga alzheimer di kemudian hari.

Ciri-cirinya bisa dikenali dengan kebiasaan saat tidur. Mendengkur keras, diikuti dengan jeda napas atau terengah-engah hingga seperti tersedak saat terlelap.

Keringat malam juga bisa menjadi tanda sleep apnea, karena penelitian menunjukkan sekitar 30 persen pengidap sleep apnea obstruktif melaporkan gejala tersebut.

Terbangun setidaknya dua kali di malam hari, menggertakkan gigi, dan sakit kepala di pagi hari juga bisa menjadi indikasi masalah.

Selain kebiasaan saat tidur dan aktivitas di malam hari, ciri-ciri seseorang memiliki sleep apnea obstruktif juga erat kaitannya dengan mengantuk di siang hari, kesulitan berkonsentrasi, mudah tersinggung, dan rasa lapar yang meningkat.

“Mikroperdarahan otak merupakan temuan umum pada otak yang menua,” kata Jonathan Graff-Radford, profesor neurologi di Mayo Clinic College of Medicine di Rochester, Minnesota. Ia tidak terlibat dalam penelitian ini.

Mikroperdarahan meningkat seiring bertambahnya usia, dan orang yang mengalaminya memiliki risiko stroke di masa mendatang yang sedikit lebih tinggi dan penurunan kognitif lebih cepat, kata Graff-Radford, dikutip dari CNN.

“Apa pun yang meningkatkan mikroperdarahan relevan dengan penuaan otak,” tambahnya.

Sleep apnea obstruktif adalah kondisi saat penyumbatan saluran napas oleh jaringan lunak yang lemah, berat, atau relaks mengganggu pernapasan saat tidur. Kondisi ini berbeda dengan sleep apnea obstruktif, saat otak terkadang melewatkan perintah untuk bernapas.

Ada beberapa cara untuk mengobati sleep apnea obstruktif, termasuk menggunakan alat bantu oral yang menjaga tenggorokan tetap terbuka saat tidur, menggunakan CPAP atau alat serupa secara teratur, dan menjalani operasi.

Studi ini memiliki metodologi yang kuat dan seharusnya menekankan pentingnya skrining sleep apnea bagi dokter dan pengobatan bagi pasien, kata Dr. Rudy Tanzi, profesor neurologi di Harvard Medical School dan direktur Unit Penelitian Genetika dan Penuaan di Rumah Sakit Umum Massachusetts di Boston. Ia tidak terlibat dalam penelitian ini.

“Jangan abaikan. Lakukan sesuatu,” katanya.

“Ini bukan hanya risiko langsung berupa pendarahan di kemudian hari, tetapi juga risiko penyakit Alzheimer di kemudian hari.”