Terlanjur Bayar Biaya Administrasi, Bantuan Ternak di Bondowoso Justru Macet

Terlanjur Bayar Biaya Administrasi, Bantuan Ternak di Bondowoso Justru Macet

Bondowoso (beritajatim.com) – Sejumlah kelompok peternak di Kabupaten Bondowoso dibuat resah lantaran program pengadaan ternak tahun 2025 tak kunjung terealisasi.

Para penerima manfaat mengaku sudah memenuhi seluruh syarat administratif yang diminta pemerintah daerah, namun hingga November ini, bantuan yang dijanjikan belum juga disalurkan.

Ketua Kelompok Peternak Pejaten Bangkit, Kecamatan Tegalampel, Muhammad Irwansyah, mengungkapkan bahwa para peternak sudah berbulan-bulan menunggu kepastian dari dinas terkait.

“Kami sudah selesaikan semua berkas sejak Mei sampai Juli, termasuk SKT dari Bakesbangpol, tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan. Alasannya cuma salah kode rekening,” ujarnya pada Beritajatim.com, Selasa (4/11/2025).

Menurut Irwan, program tersebut sebelumnya sudah dibahas dan disetujui DPRD Bondowoso. Dinas Peternakan juga telah menyiapkan daftar belanja anggaran (DBA) dan calon ppenerima

Namun setelah terjadi pergantian pejabat di dinas, muncul aturan baru yang mewajibkan kelompok ternak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Bakesbangpol.

Aturan baru itu dinilai memberatkan karena SKT mensyaratkan akta pendirian notaris dan klasifikasi ormas, bukan kelompok peternak. “Kami jadi harus keluar biaya tambahan hanya untuk urusan administrasi,” keluhnya.

Irwan menyebut, kelompoknya telah mengeluarkan biaya sekitar Rp138 juta untuk membangun kandang komunal, menyewa lahan pakan, dan membeli bahan pakan hingga lima ton. “Kami habis uang segitu karena yakin program segera jalan. Tapi nyatanya mandek,” katanya kecewa.

Kelompok Pejaten Bangkit seharusnya menerima 10 ekor sapi jantan dari program tersebut. Di Desa Pejaten sendiri terdapat empat kelompok penerima — satu kelompok sapi dan tiga kelompok kambing — yang seluruhnya diusulkan melalui pokok pikiran (pokir) anggota DPRD Bondowoso, Soedarsono.

Irwan juga menyoroti dugaan pungutan liar dalam proses pengurusan SKT. Ia menyebut beberapa kelompok diarahkan untuk menggunakan notaris tertentu dengan biaya Rp1,5 juta per kelompok, padahal notaris lain bisa mengurus hanya Rp750 ribu.

“Sekitar 20 kelompok akhirnya memilih notaris yang saya rekomendasikan karena lebih cepat dan murah,” katanya.

Ia menegaskan, program ini bukan hibah uang, melainkan pengadaan barang. “Kami hanya menerima ternak sesuai usulan, bukan uang. Tapi sekarang malah tak ada kejelasan,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Bondowoso, Hendri Widotono, menjelaskan bahwa program tersebut terhambat karena adanya perubahan aturan dalam Permendagri Nomor 15 Tahun 2024.

“Aturan baru itu mengatur bahwa bantuan ternak harus masuk kategori belanja hibah, sedangkan di APBD awal kami rencanakan sebagai belanja yang diserahkan kepada masyarakat. Saat diajukan perubahan di PAPBD, tidak bisa disetujui hingga tingkat gubernur,” jelasnya.

Hendri menegaskan, perubahan tersebut tak bisa dipaksakan karena berpotensi menyalahi mekanisme penganggaran.

“Kalau dipaksakan, risikonya bisa pidana. Jadi kami konsultasikan dengan Inspektorat. Kami juga berencana mengundang peternak untuk memberi penjelasan resmi,” ujarnya.

Ia menambahkan, program bantuan ternak kemungkinan akan didorong kembali pada tahun anggaran 2026, bergantung pada hasil pembahasan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan persetujuan provinsi. (awi/but)