BRIN Telah Kembangkan Monitor Radiasi Selama 10 Tahun, Siap Dipakai Massal

BRIN Telah Kembangkan Monitor Radiasi Selama 10 Tahun, Siap Dipakai Massal

Bisnis.com, JAKARTA —  Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengaku telah mengembangkan teknologi Radiation Portal Monitor (RPM) atau Teknologi Monitor Radiasi (TMR) selama 10 tahun. Alat ini dipastikan sudah siap digunakan secara luas.

TMR berfungsi untuk mendeteksi potensi kontaminasi bahan radioaktif di berbagai sektor, termasuk kawasan industri, pelabuhan, dan ekspor komoditas seperti udang dan rempah-rempah. 

Direktur Pemanfaatan Riset dan Inovasi pada Industri BRIN, Mulyadi Sinung Harjono, menjelaskan perangkat tersebut telah dikembangkan selama lebih dari satu dekade dan siap untuk diimplementasikan secara luas.

Menurut Sinung, BRIN tidak akan memproduksi alat ini secara massal, melainkan membuka peluang bagi industri untuk mengambil lisensi dan melakukan produksi lokal.

“Kami menemukan sesuatu, menginovasikan sesuatu. Tapi nanti yang membuat mass production harapannya muncul orang, perusahaan-perusahaan yang bisa membantu kami untuk mass production dari produk tadi,” jelasnya, Rabu (29/10/2025).

Dia menambahkan, skema kerja sama lisensi bersifat non-eksklusif, sehingga semakin banyak industri yang terlibat akan semakin baik. Adapun nilai investasi yang dibutuhkan akan bergantung pada skala produksi dan target pasar masing-masing perusahaan.

Lebih jauh, RPM merupakan perangkat deteksi pasif yang digunakan untuk menyaring pejalan kaki, kendaraan, atau objek lain yang membawa bahan nuklir dan radioaktif. 

Perangkat ini terdiri dari beberapa tipe, termasuk RPM kendaraan, RPM pedestrian, dan RPM portable, yang dapat dipasang di pelabuhan, bandar udara, perbatasan, dan kawasan industri. BRIN menilai pengembangan dan produksi RPM secara lokal penting untuk menjamin keberlanjutan operasi, perawatan, serta mendukung keamanan nasional. 

Selain itu, lisensi produk RPM akan dikoordinasikan melalui Direktorat Pemanfaatan Riset dan Inovasi pada Industri, di bawah Kedeputian Pemanfaatan Riset dan Inovasi BRIN, dengan melibatkan BAPETEN, KKP, serta kementerian dan otoritas terkait lainnya.

Sementara itu, Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir BRIN Syaiful Bakhri menuturkan kebutuhan perangkat pemantauan radiasi di Indonesia sangat mendesak, terlebih setelah munculnya beberapa kasus kontaminasi radioaktif seperti yang terjadi di Cikande, Serang, Banten.

“Kita butuh radiation portal monitoring, hampir di semua tempat, di semua kawasan industri,” kata Syaiful.

Syaiful menjelaskan, alat tersebut bukan hanya dibutuhkan di kawasan industri, tetapi juga di sektor ekspor, khususnya setelah Amerika Serikat memperketat batas ambang radioaktif untuk produk impor. 

Menurutnya, penerapan portal monitoring radiasi akan membantu memastikan produk ekspor seperti udang dan cengkeh terbebas dari kontaminasi sebelum dikirim ke luar negeri. Dia menambahkan penerapan teknologi tersebut dapat menjadi peluang besar untuk melindungi ekspor nasional sekaligus mendorong kolaborasi lintas sektor.

“Harapannya ke depannya [industri/pelaku bisnis] bisa mengembangkan ini lebih lanjut. Untuk apa? Untuk pertumbuhan ekonomi kita bersama dan keselamatan kita bersama,” ujar Syaiful. 

Sebelumnya, temuan zat radioaktif Cs-137 di Indonesia telah menjadi perhatian serius. Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat mendeteksi paparan Cs-137 pada cengkeh asal Indonesia yang dikirimkan oleh PT Natural Java Spice ke California. FDA kemudian memblokir impor seluruh rempah dari perusahaan tersebut.

Meski kadar radioaktif yang terdeteksi masih di bawah ambang batas perlindungan kesehatan, FDA menilai temuan tersebut tidak bisa diabaikan karena paparan jangka panjang tetap berpotensi membahayakan kesehatan

FDA juga menyoroti paparan zat radioaktif Cesium-137 (Cs-137) pada komoditas udang dari Indonesia. Pemeriksaan pihak FDA serta Bea Cukai AS mendeteksi kandungan radiasi pada kontainer udang pada Agustus 2025. Penemuan ini menjadi titik balik yang menunjukkan sumber paparan radiasi bukan berasal dari tambak atau laut, melainkan berakar pada aktivitas industri logam di daratan.