Pemerintah Targetkan 5G 32% pada 2030, Begini Rekomendasi Mastel

Pemerintah Targetkan 5G 32% pada 2030, Begini Rekomendasi Mastel

Bisnis.com, JAKARTA— Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) memberikan sejumlah rekomendasi agar target adopsi 5G di Indonesia dapat mencapai 32% pada 2030. Salah satunya, menggabungkan dengan teknologi kecerdasan buatan (AI).

Sebelumnya, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi) Nezar Patria menyampaikan pemerintah menargetkan jangkauan koneksi 5G di Indonesia mencapai 32% pada 2030. 

Saat ini, ketersediaan koneksi internet 5G di Indonesia masih sangat rendah, baru sekitar 10% dari total populasi per Oktober 2025. Angka tersebut tertinggal jauh dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia, yang sudah mencapai 80%.

Ketua Umum Mastel Sarwoto Atmosutarno menjelaskan jaringan 5G+ bukan merupakan kelanjutan langsung dari infrastruktur internet 4G.

Menurutnya, kasus penggunaan (use cases) 5G berbeda karena secara umum dapat dimanfaatkan untuk layanan Fixed Broadband (FBB), Mobile Broadband (MBB), serta perangkat atau mesin dengan latensi rendah seperti IoT dan robotik.

“Format FMC [Fixed Mobile Convergence] cocok untuk 5G. Juga dengan maraknya AI saat ini, maka 5G+AI adalah keniscayaan,” kata Sarwoto kepada Bisnis, Rabu (29/10/2025).

Kedua, Sarwoto menuturkan penggelaran jaringan 5G membutuhkan ekosistem yang kuat dan saling terhubung antara penyelenggara jaringan, penyedia jasa, data center/cloud, aplikasi, serta teknologi AI. Selain itu, pasar untuk berbagai use case juga harus cukup memadai. 

Dia mencontohkan, ponsel berteknologi 5G di Indonesia saat ini belum mencapai 30% populasi. Di sisi lain, belum ada survei pengguna fixed broadband yang membutuhkan kecepatan internet di atas 500 Mbps, padahal angka tersebut merupakan kecepatan optimal 5G di lapangan. 

Selain itu, populasi industri yang membutuhkan perangkat cerdas (seperti robotik) juga masih di bawah 15%. “Kesemuanya mempengaruhi kelayakan investasi 5G,” imbuhnya.

Ketiga, Sarwoto menambahkan, berdasarkan studi sukses penggelaran 5G di China, India, dan Malaysia, peran pemerintah dan regulator menjadi kunci utama. 

Dia mengatakan regulator 5G di negara-negara tersebut melakukan debottlenecking dengan berani, misalnya melalui aturan akuisisi frekuensi 5G dan biaya lainnya yang memberi insentif, baik dalam bentuk gratis, penurunan tarif, maupun deferred payment (penundaan pembayaran) dengan target pembangunan dan kinerja tertentu. 

Menurut Sarwoto, pembangunan dan penggelaran 5G di Indonesia seharusnya dilakukan secara gotong royong oleh seluruh pemangku kepentingan. 

Operator 5G, misalnya, dapat diposisikan sebagai operator jaringan netral yang dapat dimanfaatkan oleh semua use case 5G. Dia optimistis sektor GovTech dan bidang lainnya akan menjadi pasar potensial 5G dalam dua hingga tiga tahun mendatang.

Sarwoto memperkirakan dibutuhkan investasi sekitar US$3–4 miliar atau sekitar Rp49,95–66,6 triliun untuk mendukung pembangunan dan operasionalisasi 5G secara masif di Indonesia dalam dua hingga tiga tahun ke depan melalui prinsip gotong royong tersebut.

“Apabila ketiga butir di atas bisa dilakukan, Mastel yakin jaringan 5G+ bisa segera hadir di Indonesia dengan cepat dan bermanfaat,” pungkasnya.