Bumi Kehilangan Keseimbangan, Belahan Utara Kini Lebih Panas dari Selatan

Bumi Kehilangan Keseimbangan, Belahan Utara Kini Lebih Panas dari Selatan

Bisnis.com, JAKARTA – Sebuah studi terbaru NASA menunjukkan bahwa belahan Bumi bagian utara kini menyerap lebih banyak panas dibandingkan belahan selatan, menandakan adanya perubahan signifikan pada keseimbangan energi bumi.

Temuan ini mengindikasikan bahwa simetri alami antara kedua hemisfer yang selama ribuan tahun menjaga kestabilan iklim global mulai terganggu.

Penelitian yang dikutip dari Live Science menjelaskan bahwa belahan utara kini menyerap panas matahari lebih banyak, sementara belahan selatan relatif lebih stabil.

Fenomena ini disebut “broken symmetry” atau ketidakseimbangan energi lintas hemisfer, dan dapat menjadi tanda bahwa Bumi sedang menuju fase pemanasan yang lebih tidak merata. NASA memantau perubahan ini melalui satelit selama lebih dari 20 tahun, mencatat peningkatan serapan energi di wilayah-wilayah seperti Amerika Utara, Eropa, Asia, dan Samudra Arktik.

Menurut para ilmuwan, ada beberapa faktor utama yang menyebabkan perubahan ini:

1. Pencairan Es di Arktik

Es berfungsi sebagai “cermin alami” yang memantulkan sinar matahari kembali ke luar angkasa. Namun, mencairnya lapisan es di Kutub Utara membuat permukaan laut yang lebih gelap menyerap panas lebih banyak.
Akibatnya, suhu di wilayah utara meningkat lebih cepat dibanding bagian selatan.

2. Polusi dan Aerosol

Aktivitas industri dan polusi udara yang lebih tinggi di belahan utara juga berpengaruh. Partikel aerosol dapat memantulkan atau menyerap radiasi matahari, mengubah keseimbangan energi atmosfer secara lokal maupun global.

3. Perubahan Tutupan Awan dan Vegetasi

Perubahan pola cuaca serta penggundulan hutan membuat tutupan awan dan vegetasi di utara berkurang, sehingga panas matahari lebih mudah terserap oleh permukaan daratan.

Dampaknya Bagi Iklim Dunia

Ketidakseimbangan ini bisa mempercepat pemanasan global dan perubahan pola cuaca ekstrem. Menurut laporan CNA.al, belahan utara tempat sebagian besar populasi manusia tinggal akan menghadapi gelombang panas yang lebih intens, kekeringan, dan badai yang lebih kuat. Sementara itu, sistem iklim global yang terganggu dapat menyebabkan curah hujan tak menentu di berbagai wilayah, termasuk kawasan tropis.

Para peneliti NASA menekankan bahwa ketidakseimbangan ini masih dapat dikendalikan jika emisi karbon global ditekan secara signifikan dalam dekade ini.
Langkah mitigasi seperti pengurangan pembakaran bahan bakar fosil, penghijauan kembali, dan transisi energi terbarukan menjadi kunci untuk mengembalikan stabilitas Bumi kita.

Meski begitu, perubahan yang sudah terjadi menunjukkan bahwa Bumi kini semakin sensitif terhadap aktivitas manusia, dan keseimbangan iklim yang dulu dianggap konstan kini perlahan bergeser. (Nanda Duhaya Tyas Cahyani)