Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menilai penerapan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) oleh Uni Eropa sebagai bentuk hambatan perdagangan non-tarif mesti segera diantisipasi.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, kebijakan tersebut dinilai akan berdampak besar terhadap produk ekspor Indonesia, terutama yang beremisi karbon tinggi.
“Penerapan CBAM pada dasarnya itu adalah bentuk dari penerapan hambatan perdagangan oleh Uni Eropa dalam bentuk non-tarif,” kata Faisal kepada Bisnis, Senin (27/10/2025).
Menurut dia, tujuan utama CBAM adalah untuk mengontrol masuknya produk beremisi karbon tinggi ke pasar Uni Eropa dengan dalih pengurangan emisi global. Namun, di sisi lain, kebijakan ini juga menjadi bentuk proteksi terhadap industri Eropa sendiri.
Faisal menjelaskan, negara berkembang seperti Indonesia umumnya masih bergantung pada energi berbasis fosil dalam proses produksinya. Kondisi ini membuat produk ekspor nasional sulit bersaing karena dianggap memiliki jejak karbon yang tinggi.
Terlebih, infrastruktur hijau dan teknologi rendah karbon di Indonesia masih terbatas dibandingkan negara maju.
Beberapa komoditas ekspor utama seperti produk manufaktur seperti besi dan baja, aluminium, pupuk, dan lainnya serta turunan perkebunan seperti sawit disebut menjadi sektor yang paling rentan terdampak CBAM.
Faisal menilai jika mekanisme ini benar-benar diberlakukan penuh pada 2026, maka akses produk Indonesia ke pasar Eropa bisa semakin terhambat.
“Ini akan banyak terhalang menurut saya dalam masuk ke pasar Eropa. Kalau itu betul-betul diperlakukan sampai 2026 dan ini merupakan sejalan juga nanti dengan pemberlakuan IEU-CEPA,” jelasnya.
Dia menambahkan, dalam perjanjian Indonesia–EU Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA), Indonesia perlu mendorong adanya kerja sama teknis agar pelaku ekspor domestik bisa menyesuaikan diri dengan standar lingkungan Uni Eropa. Selain itu, investasi dari Eropa juga diharapkan mengarah pada sektor dan rantai pasok yang lebih hijau.
Lebih lanjut, dia menyoroti pentingnya koordinasi lintas kementerian dan lembaga untuk memastikan pengurangan emisi di seluruh rantai produksi industri.
“Harus lebih baik koordinasinya, kelembagaannya disusun dengan benar, dan harus berorientasi bukan hanya menyesuaikan tapi juga untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomi atau meminimalisir kerugian ekspor-impor,” pungkasnya.
Pada Maret 2025, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto telah mempromosikan peluang kerja sama dengan salah satu negara anggota Uni Eropa, Prancis dalam mengembangkan inovasi teknologi hijau untuk mendukung industri nasional dalam memenuhi persyaratan CBAM.
Dalam kesempatan tersebut Menko Airlangga meminta dukungan Prancis dalam hal transfer teknologi, investasi, dan pengembangan kapasitas industri rendah karbon, khususnya di sektor baja, aluminium, dan pupuk.
“Prancis memiliki keahlian dalam hal teknologi hidrogen. Indonesia dapat mengusulkan proyek percontohan pemanfaatan green hydrogen dalam produksi bahan dan pupuk yang rendah karbon,” ujarnya kala bertemu dengan Chairman of the Board of Business France and France Ambassador for International Investments Pascal Cagni di Paris.
Selain itu, Indonesia juga mendorong realisasi komitmen Prancis dalam pembiayaan hijau terutama melalui inisiatif Just Energy Transition Partnership (JETP), khususnya guna membantu pendanaan transisi industri menuju kepatuhan terhadap kebijakan CBAM.
