Bos East Ventures Ungkap Biang Kerok Pendanaan ke Startup RI Masih Lambat

Bos East Ventures Ungkap Biang Kerok Pendanaan ke Startup RI Masih Lambat

Bisnis.com, JAKARTA—  Co-Founder dan Managing Partner East Ventures, Willson Cuaca, mengakui tren pendanaan startup saat ini memang melambat di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Menurutnya, kondisi tersebut tak lepas dari arah pergerakan modal global yang lebih banyak terserap ke Amerika Serikat (AS). 

“Menurut saya pendanaan memang agak slow ya. Alasannya karena risk capital itu nggak masuk ke southeast Asia. Karena misalnya di US, public market doing very well,” kata Wilson ditemui disela acara Tech In Asia Conference di Jakarta pada Rabu (22/10/2025). 

Willson mengatakan bahwa saat ini banyak pemodal global lebih memilih menanamkan investasi di sektor kecerdasan buatan (AI), sehingga AI revolution di AS mendapatkan aliran dana yang besar.

Willson mengatakan Indonesia masih sangat bergantung pada investasi asing. Sementara itu, para investor dari AS cenderung menanamkan modal di negaranya sendiri, mengingat mereka bisa memperoleh imbal hasil tinggi tanpa harus berinvestasi jauh ke Asia.

“Kenapa dia mau capek-capek terbang kemari. Cara berpikirnya sangat simple,” tambahnya.

Karena itu, Willson menilai startup di kawasan Asia, termasuk Indonesia, perlu memikirkan cara untuk menciptakan nilai yang benar-benar berdampak bagi investor, baik dari sisi keuntungan maupun dampak sosial.

“Di sini kita harus benar-benar memikirkan sesuatu yang impactful ke investor. Apakah itu return, apakah ada investor yang memang fokusnya ke impact. Mandat dari tiap investor itu beda-beda,” tuturnya.

Lebih lanjut, Willson menolak istilah “bakar uang” yang kerap disematkan pada startup. Dia menilai, pengeluaran besar dalam tahap awal bisnis sering kali merupakan bagian dari proses edukasi pasar dan pengembangan inovasi.

Menurut Willson, pola tersebut mengikuti konsep J-curve, di mana hasil investasi belum terlihat pada awalnya, tetapi melonjak setelah platform terbentuk dan bisnis mulai stabil. Dia juga menilai bisnis teknologi tidak bisa dinilai dengan kacamata bisnis tradisional karena karakteristiknya berbeda. 

“Tapi, memang karena pengaruh kompetisi, mereka investasi untuk akuisisi user-nya mungkin kebanyakan. Sehingga kelihatan sepertinya spending-nya terlalu tinggi,” katanya.

Terkait arah investasi East Ventures, Willson menyebut pihaknya kini banyak mengincar sektor AI, healthcare, dan consumer, tanpa terlalu membatasi sektor tertentu. Willson juga memberi pesan kepada calon pendiri startup agar tidak menunda langkah meski situasi pendanaan sedang menurun.

“Kalau kamu punya produk bagus, memang pengen start company, start aja. Ada pendanaan, nggak ada pendanaan, kamu start aja. Kalau gagal, jangan anggap kegagalan itu sesuatu yang memalukan. Anggap kegagalan itu adalah sukses yang tertunda,” ujarnya.

Dia menegaskan dalam proses investasi, pihaknya lebih mengutamakan kejujuran dan passion dari pendiri startup. “Asal founders-nya jujur, passionate about their product, pasti kita investasi. Founders itu harus mengerti industri-nya itu benar-benar dalam,” kata Willson.

Kondisi yang disampaikan Willson sejalan dengan data platform kurator data dan riset startup Tracxn. Sepanjang 2024, total pendanaan startup di Indonesia hanya mencapai US$693 juta atau sekitar Rp11,5 triliun dari 78 putaran pendanaan. Angka tersebut merupakan yang terendah dalam beberapa tahun terakhir, bahkan tidak melampaui capaian 2016 yang mencapai US$966 juta dari 91 putaran pendanaan.

Tren perlambatan ini juga terjadi di kawasan Asia Tenggara. Total pendanaan startup di kawasan turun menjadi US$2,8 miliar atau sekitar Rp46,4 triliun dari 420 putaran pendanaan pada 2024. Sebagai perbandingan, total pendanaan masih mencapai US$7 miliar pada 2023, meski sudah turun tajam dari puncak tahun 2021 yang menembus US$21,9 miliar.