Bisnis.com, JAKARTA — Tepat satu tahun sejak pelantikan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, wacana tentang pembagian peran di dalam pemerintahan kembali menghangat.
Para pendukung menilai pemerintahan baru bergerak cepat; para pengkritik mempertanyakan efektivitas sejumlah program unggulan. Di tengah pujian dan kritik itu, satu narasi konsisten muncul: Gibran yang datang ke panggung politik nasional dengan label “wajah muda” dan simbol regenerasi tampak lebih minim profil dibandingkan sang presiden yang bertindak sangat aktif dan “take control” dalam berbagai urusan negara.
Saat kampanye, Gibran memiliki wajah sebagai simbol pembaruan anak muda yang sudah punya pengalaman memimpin kota (Surakarta), praktikal, dan dekat dengan generasi milenial. Setelah resmi dilantik pada 20 Oktober 2024, dia diberi panggung untuk memperkenalkan sejumlah inisiatif dari dorongan pendidikan AI hingga program layanan publik digital seperti “Lapor Mas Wapres” pada awal masa jabatan.
Namun, selama tahun pertama, Analis Komunikasi Politik sekaligus pendiri Lembaga Survei KedaiKopi, Hendri Satrio memperhatikan bahwa aktivitas-aktivitas publik Gibran cenderung bersifat seremonial atau administratif, bukan inisiatif kebijakan besar yang menggeser arah birokrasi atau diplomasi.
Dia menyatakan bahwa Gibran tersandera oleh dua narasi yang saling bertabrakan harapan simbolik perubahan anak muda dan bacaan publik soal keberlanjutan dinasti politik keluarga Jokowi kondisi yang, menurutnya, membuat arah politik Gibran menjadi gamang dan sulit menunjukkan gebrakan nyata.
“Dari awal kita harusnya juga mulai mengeset harapan kepada Gibran, dia jadi wapres kan memang peran bapak besar sekali. Jadi jangan set harapan seperti wapres sebelumnya. Memang minim gebrakan dan bisa diperkirakan kalau akan minim gerakan,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (21/10/2025).
Hendri menegaskan, tidak ada indikator sejauh ini yang menunjukkan Gibran memainkan peran strategis sebagaimana para pendahulunya. Dia membandingkan Gibran dengan dua wakil presiden era sebelumnya: K.H. Ma’ruf Amin yang aktif dalam pengembangan ekonomi syariah dan sosial, serta Boediono dan Jusuf Kalla yang dikenal teknokrat dan pengambil keputusan penting di bidang ekonomi dan pemerintahan.
“Kalau Ma’ruf Amin itu punya bidang jelas, dia fokus ke ekonomi syariah dan pemberdayaan sosial. Tapi kalau Gibran, ya fungsinya cuma mendampingi Pak Prabowo. Dia pelengkap aja, syarat aja, bahwa ada wakil presiden,” kata Hendri.
Meskipun menilai Gibran minim kontribusi substantif, tetapi Hendri menyoroti bahwa pekerjaan rumah terbesar pemerintahan Gibran pada tahun kedua tetap berada di bidang ekonomi.
Dia menilai, Gibran harus mengenal lebih akrab dengan tantangan ekonomi nasional saat ini tidak hanya terkait perlambatan pertumbuhan, tetapi juga menurunnya daya beli masyarakat dan melemahnya investasi.
Dalam konteks itu, menurut Hendri, Gibran seharusnya mulai mengambil peran lebih aktif dalam program-program yang berdampak langsung pada masyarakat, khususnya generasi muda dan sektor UMKM.
“Masih sama sih sama tahun ini yaitu ekonomi. Yang paling berat sekarang itu ekonomi, jadi tahun depan juga pasti itu,” tandas Hendri.
Kontras: Prabowo sebagai control tower
Kontras antara gaya kepemimpinan kedua figur ini cukup tajam. Selama 12 bulan pertama, Presiden Prabowo tampak intensif memimpin agenda pemerintahan domestik dan global memimpin sidang kabinet paripurna, aktif melakukan lawatan luar negeri hingga 33 perjalanan ke 25 negara dan memegang peranan sentral dalam menentukan prioritas kebijakan nasional.
Salah satu ukuran visibilitas global adalah frekuensi dan profil kunjungan luar negeri. Dalam tahun pertama, catatan bisnis menempatkan Prabowo jauh lebih sering melakukan lawatan ke luar negeri dibandingkan Gibran sebuah indikator yang menegaskan bahwa representasi diplomatik utama berada di tangan presiden.
Beberapa liputan mencatat puluhan kunjungan luar negeri yang dilakukan Presiden dalam satu tahun pertama, sementara daftar kunjungan kerja resmi wapres relatif lebih pendek dan sering bersifat melepas kedatangan atau menyambut ketika presiden kembali.
Secara konstitusional, tugas wapres adalah membantu presiden. Dalam praktiknya, pembagian tugas sangat bergantung pada kesepakatan personal dan politik antar keduanya.
Menurut Hendri, jika Gibran ingin mengubah narasi “minim gebrakan”, ada beberapa pendekatan praktis yang bisa dipertimbangkan yaitu mengambil mandat sektoral yang jelas dan terukur dengan fokus pada satu atau dua isu besar.
Hendri melanjutkan orang nomor dua di Indonesia itu juga bisa membangun inisiatif yang bersinggungan langsung dengan publik muda program yang melibatkan partisipasi anak muda, inkubator startup daerah, atau reformasi sistem pendidikan menengah-kejuruan bisa menunaikan janji simbol regenerasi secara substansial.
“Misalnya transformasi pendidikan vokasi-AI, kewirausahaan digital untuk UMKM dengan target hasil yang dapat diukur dalam 12–24 bulan. Ini mirip peran yang dijalankan Ma’ruf Amin pada ekonomi syariah. Jadi spesifik, terukur, dan memiliki stakeholder jelas,” tandasnya.
Belum lagi, berdasarkan laporan Evaluasi Kinerja 1 Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran (CELIOS, 2025) tertuang bahwa Gibran mendapat nilai rata-rata 2 dari 10, menjadikannya salah satu pejabat dengan penilaian publik terendah.
Termasuk 76% responden menilai kinerjanya sangat buruk, 17% buruk, 7% cukup, dan hanya 1% baik. Tidak ada responden yang memberi nilai di atas 8. Skor ini turun dari rata-rata 3 pada survei 100 hari pertama pemerintahannya
“Kinerja Gibran dinilai tidak menunjukkan peningkatan berarti dalam kepemimpinan, koordinasi, maupun komunikasi kebijakan,” demikian tulis laporan tersebut.
Dalam perbandingan antara periode 100 hari dan 1 tahun, jumlah penilai “sangat buruk” terhadap Gibran melonjak dari 31% menjadi 61%. Hal ini mencerminkan minimnya peran strategis Wapres Ke-14 RI itu dalam pemerintahan Prabowo, terutama dalam bidang kebijakan dan diplomasi.
