Bisnis.com, JAKARTA — Aliansi Ekonom Indonesia menilai arah kebijakan ekonomi nasional selama satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka belum menunjukkan perbaikan mendasar.
Aliansi menilai capaian yang ada lebih mencerminkan konsolidasi kekuasaan ketimbang konsolidasi kebijakan. Mereka mempertanyakan klaim stabilitas yang kerap disampaikan pemerintah
“Fondasi ekonomi justru menunjukkan tanda-tanda keletihan struktural: produktivitas menurun, daya beli masyarakat melemah, kapasitas fiskal menyempit, dan kesenjangan melebar,” tulis Aliansi dalam pernyataan resminya, Selasa (21/10/2025).
Aliansi ekonom Indonesia adalah gabungan dari ratusan ekonom dari berbagai universitas. Mereka sebelumnya pernah memberikan desakan kepada pemerintah. Aliansi ini juga pernah menemui pemerintah untuk menyampaikan tujuh desakan ekonominya.
Aliansi mengutip laporan Indonesia Economic Outlook Q3-2025 yang diterbitkan oleh LPEM FEB UI. Dalam laporan itu, disoroti perlambatan pertumbuhan ekonomi, perlambatan pertumbuhan sektor manufaktur, hingga perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga.
Mereka pun menyoroti dua akar persoalan utama yang belum terselesaikan, yakni misalokasi sumber daya dan rapuhnya institusi penyelenggara negara akibat konflik kepentingan. Keduanya dinilai terus melahirkan kebijakan tidak efisien, melemahkan kapasitas negara dalam melayani publik, serta menurunkan kepercayaan terhadap arah pembangunan.
Aliansi kembali mengingatkan Tujuh Desakan Darurat Ekonomi (7DDE) yang sudah disampaikan pada akhir September lalu, yang ditandatangani oleh 452 ekonom dan praktisi. Mereka mengungkap sejumlah catatan kritis.
Pertama, anggaran nasional dinilai masih tidak proporsional karena lebih banyak diarahkan ke proyek padat modal ketimbang pelayanan dasar di daerah. Penurunan transfer ke daerah disebut mempersempit ruang fiskal bagi pemerintah daerah, sementara program makan bergizi gratis yang menjadi ikon pemerataan gizi justru dinilai bermasalah dalam perencanaan dan pengawasan.
Kedua, Aliansi menyoroti lemahnya independensi lembaga teknokratis seperti Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi akibat intervensi politik. Kondisi ini dianggap menggerus kredibilitas data dan kebijakan publik.
Ketiga, menyangkut dominasi negara dalam ekonomi lokal, terutama ekspansi BUMN dan lembaga militer yang dinilai mempersempit ruang usaha kecil dan menengah. Aliansi menilai langkah ini menimbulkan ketimpangan karena memperkuat entitas besar yang terafiliasi kekuasaan.
Keempat, pelemahan iklim usaha. Peringkat Indonesia dalam indeks daya saing global turun dari posisi 27 pada 2024 menjadi 40 pada 2025, seperti dalam laporan IMD World Competitiveness Center 2025.
“Meski pemerintah banyak berbicara soal reformasi izin dan digitalisasi perizinan, praktik di lapangan menunjukkan hambatan regulasi, tumpang tindih kewenangan, dan ketidakpastian hukum masih tinggi, sementara praktik mafia perizinan dan kuota tetap marak,” tulis Aliansi.
Kelima, dari sisi sosial, rasio Gini meningkat dari 0,38 menjadi 0,40 dan ketimpangan wilayah memburuk. Aliansi mendesak pemerintah berani menerapkan kebijakan redistributif, termasuk reformasi perpajakan dan subsidi tepat sasaran.
Keenam, pengambilan keputusan fiskal dan moneter disebut masih dipengaruhi tekanan politik, bukan bukti empiris. Aliansi menilai program populis dijalankan tanpa analisis keberlanjutan fiskal yang jelas.
Ketujuh, mereka menyoroti konflik kepentingan di sektor strategis seperti energi dan tambang, termasuk meningkatnya peran militer dan kepolisian dalam proyek ekonomi dan sipil tanpa mekanisme akuntabilitas.
Aliansi menutup pernyataannya dengan menyerukan reformasi institusi, tata kelola yang bersih, efisien, dan berpihak pada produktivitas rakyat. Mereka menggarisbawahi bahwa janji kemandirian ekonomi tidak dapat diwujudkan melalui proyek mercusuar atau retorika politik.
“Tanpa pembenahan atas dua akar masalah—misalokasi sumber daya dan rapuhnya institusi penyelenggara negara—Indonesia akan terjebak dalam pertumbuhan semu yang mengabaikan keberlanjutan lingkungan, keadilan sosial, dan tatanan sipil yang demokratis. Tanpa keberanian pembenahan nyata, janji kemandirian ekonomi hanyalah ilusi retorika belaka,” tutup pernyataan tersebut.
