Jakarta –
Jumlah pasien diabetes melitus (DM) dan hipertensi yang terdata dari penggunaan pengobatan BPJS Kesehatan melonjak lebih dari dua kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir.
Data di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) menunjukkan, pada 2014 terdapat sekitar 400 ribu pasien diabetes melitus yang mendatangi FKTP, melonjak tujuh kali lipat menjadi 2,8 juta peserta yang mengakses layanan di 2024. Sementara untuk pasien hipertensi dari semula 785 ribu kunjungan ke FKTP di 2014, kini menjadi 5,6 juta peserta pada 2024.
Bila dirinci, dalam satu dekade terakhir terdapat 20,5 juta kasus hipertensi dan 7,4 juta kasus diabetes melitus.
Kenaikan jumlah pasien ini diikuti dengan pembengkakan pembiayaan. Sepanjang 2024, BPJS Kesehatan mengeluarkan sekitar Rp 35,3 triliun untuk menanggung pengobatan penyakit kronis seperti diabetes dan hipertensi, termasuk stroke, gagal ginjal, dan penyakit jantung.
Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, Itida Yasar, SH, MPsi, menilai selama ini sistem layanan kesehatan masih terlalu berfokus pada penanganan kuratif, ketimbang promotif dan preventif.
“Kalau parameternya sudah jelas, saya paling cerewet soal anggaran, berapa penyerapannya, kegiatan apa, di dalamnya sudah ada skrining dan edukasi seperti program pengelolaan penyakit kronis (PROLANIS). Tapi yang kurang dari kita adalah kolaborasi dengan masyarakat,” beber Itida, dalam talkshow di Jakarta Pusat, Senin (20/10/2025).
Ia menegaskan keberhasilan pengendalian penyakit kronis tidak bisa hanya bergantung pada fasilitas kesehatan. Edukasi, kepatuhan pasien, dan peran komunitas juga harus diperkuat. “Ini penyakit tidak menular, jadi kuncinya ada di perubahan perilaku. Harus ada kolaborasi komunikasi dengan komunitas,” tambahnya.
Itida menyoroti sebagian peserta BPJS masih tidak rutin meminum obat atau baru datang ke rumah sakit ketika kondisinya sudah berat. Kondisi itu membuat biaya pengobatan membengkak karena pasien seringkali harus masuk IGD atau dirawat inap.
“Orang yang nggak pernah minum obat, lalu masuk IGD, masuk rumah sakit lagi, itu kan cost-nya tinggi. Kalau semua digratiskan tanpa tanggung jawab, bisa jebol juga sistemnya. Fokus kita masih terlalu di kuratif,” tegasnya.
Itida bahkan menyebut, skema cost sharing bisa dipertimbangkan bagi peserta dengan faktor risiko tinggi seperti perokok atau pasien yang tidak patuh pengobatan, agar ada rasa tanggung jawab bersama.
Sementara itu, Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI dr Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, mengatakan pemerintah kini memperkuat pendekatan promotif dan preventif melalui program cek kesehatan gratis (CKG).
“Kebijakan kita dorong terus promotif-preventif, salah satunya dengan skrining. Makanya kita paksa dengan program CKG. Ini betul-betul gratis dengan sejumlah jenis pemeriksaan, mulai dari EKG, profil lipid, hingga fungsi ginjal,” jelas Nadia.
Program CKG mulai dari bayi baru lahir hingga lansia, mendapat pemeriksaan kesehatan setahun sekali. Namun, tantangan terbesar masih ada pada perubahan perilaku masyarakat.
“Masyarakat kita biasanya datang ke fasilitas kesehatan kalau sudah sakit. Kalau belum ada keluhan, mereka merasa tidak perlu. Padahal, justru kita ingin mereka tahu kondisi sebelum jatuh sakit,” ujarnya.
Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dan memperluas jangkauan edukasi, Kemenkes juga tengah mengembangkan agar program yang sama bisa diterapkan di tempat kerja.
Hal ini karena banyak pekerja usia produktif kesulitan datang ke puskesmas saat jam kerja.
“Kalau jam kerja, peserta usia perkantoran tidak mungkin datang. Jadi, kita akan coba kembangkan bisa dijalankan di klinik perusahaan. Pasien pekerja bisa dikontrol tekanan darah dan gula darahnya bersama puskesmas,” kata Nadia.
Program ini diharapkan membantu menjaga kondisi pasien tetap terkontrol, mencegah rujukan ke rumah sakit, serta menekan pembiayaan jangka panjang.
Nadia juga mengingatkan pasien agar tidak takut menjalani pengobatan rutin. Ia menegaskan, bahaya hipertensi yang tidak terkontrol jauh lebih besar daripada efek samping obat.
“Kadang pasien takut minum obat, padahal yang lebih berisiko itu hipertensinya sendiri dibandingkan obatnya,” tutup Nadia.
Simak Video “Video: Ombudsman Dukung Pemerintah soal Pemutihan Tunggakan BPJS Kesehatan”
[Gambas:Video 20detik]
(naf/kna)
