Demokrasi Mundur dan Lingkungan Kian Terancam

Demokrasi Mundur dan Lingkungan Kian Terancam

JAKARTA – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menunjukkan arah kemunduran demokrasi dan perusakan lingkungan yang makin sistematis.

Mereka menyebut kondisi negara saat ini mencerminkan realitas “Indonesia gelap” yang tidak hanya tampak di tingkat nasional, tetapi juga dirasakan di berbagai daerah.

Dalam catatannya, WALHI menyoroti kebijakan pemerintah yang dinilai memperkuat militerisme, abai terhadap hak asasi manusia, serta melanjutkan model ekonomi ekstraktif yang mengorbankan keselamatan rakyat dan kelestarian lingkungan.

“Indonesia Gelap bukan sekadar tagar, melainkan cerminan kondisi nyata di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran,” ungkap Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Even Sembiring dalam keterangannya, Minggu, 19 Oktober.

Dalam evaluasi satu tahun pemerintahan Prabowo, WALHI menilai kabinet yang gemuk dan tidak efektif menjadi simbol lemahnya tata kelola pemerintahan serta kian jauhnya praktik kekuasaan dari semangat konstitusi.

Pengesahan revisi Undang-Undang TNI menjadi salah satu sorotan utama WALHI. Perubahan aturan ini dinilai memperluas peran militer di ruang sipil dan menandai kembalinya dominasi aparat bersenjata dalam urusan publik.

“Meski Prabowo kerap mengagungkan konstitusi dan kedaulatan rakyat dalam pidatonya, praktik pemerintahannya justru menyingkirkan keduanya,” ungkap dia.

Lebih lanjut Even menilai ambisi pemerintah mengejar pertumbuhan ekonomi 8 persen justru memperparah ketimpangan dan mempercepat kerusakan lingkungan.

“Target 8 persen pertumbuhan ekonomi membuat negara semakin menggenjot investasi, khususnya dari ekstraksi sumber daya alam,” ujar Even.

“Pilihan cara ekonomi yang kapitalistik semakin menaruh rakyat dan lingkungan di bawah ancaman krisis. Hal ini kian diperparah dengan pendekatan represif dan militeristik,” lanjutnya.

WALHI menilai pemerintahan Prabowo-Gibran melanjutkan pola pembangunan yang hanya berpihak pada kepentingan modal besar. Di berbagai wilayah, eksploitasi sumber daya alam meningkat tanpa diimbangi dengan perlindungan hak rakyat dan pemulihan ekosistem.

“Selama arah kebijakan masih didikte oleh kepentingan modal dan logika pertumbuhan ekonomi, komitmen keadilan dan keselamatan hanya akan menjadi retorika diplomatik,” imbuh dia.