Liputan6.com, Jakarta – Pesantren kembali menjadi sorotan publik. Dalam beberapa pekan terakhir, dua peristiwa berbeda menyeret lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia ini ke ruang diskusi yang ramai, bahkan kadang bising. Pertama, robohnya bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, yang menelan korban luka dan menimbulkan duka mendalam.
Peristiwa itu memunculkan banyak pertanyaan tentang standar keamanan, pengawasan, dan tata kelola pembangunan infrastruktur pesantren, terutama di tengah meningkatnya jumlah lembaga pendidikan berbasis komunitas di berbagai daerah. Di saat yang hampir bersamaan, sebuah tayangan di salah satu televisi swasta tentang tradisi dan kehidupan santri di pesantren menuai kecaman publik.
Tayangan tersebut dinilai tidak sensitif dan cenderung menyudutkan kehidupan pesantren, menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan, mulai dari kiai, alumni pesantren, hingga organisasi keagamaan.
Dua peristiwa ini menyentuh akar yang sama, bagaimana pesantren dilihat dan diperlakukan dalam ruang publik modern. Pesantren bukan sekadar institusi pendidikan keagamaan, tetapi juga ruang sosial dan budaya yang telah berabad-abad membentuk karakter bangsa. Namun, di era keterbukaan informasi dan cepatnya arus media, wajah pesantren kini diuji, antara pelestarian nilai dan tantangan zaman.
Untuk menelisik lebih dalam, Liputan6.com berbincang dengan Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama RI periode 2014–2019, yang dikenal sebagai salah satu tokoh moderat dan pembela kuat keberagaman di Indonesia.
Dalam wawancara khusus ini, Lukman berbicara tentang makna pesantren di tengah krisis persepsi, pentingnya pengawasan dan pembinaan pemerintah terhadap lembaga pendidikan berbasis komunitas, serta cara menjaga marwah pesantren agar tetap menjadi benteng moral dan kebangsaan di tengah perubahan sosial yang cepat.
Berikut wawancara khusus dalam Bincang Liputan6 yang dipandu dua jurnalis Liputan6, Luqman Rimadi dan Lia Harahap:
Menengok soal insiden yang terjadi di Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo. Seperti apa tata kelola Pesantren kita saat ini ?
Pesantren ini adalah suatu institusi lembaga pendidikan yang telah ada jauh sebelum Indonesia itu sendiri lahir. Pesantren tidak hanya sebagai lembaga pendidikan semata, dia juga lembaga dakwah, dia juga lembaga pengembangan masyarakat. Jadi memang punya pengaruh yang sangat luas di tengah-tengah masyarakatnya.
Karenanya pemerintah merasa perlu merekognisi, mengakui sekaligus mengapresiasi, memberikan penghargaan kepada pesantren ini, karena kontribusinya yang sangat besar terbukti dengan adanya hari santri, misalnya dengan adanya undang-undang khusus tentang pesantren dan banyak hal-hal lain. Jadi itu pesantren dalam konteks Indonesia yang punya dampak sangat positif dalam kehidupan kita bersama, berbangsa, bernegara. Kasus kejadian kemarin itu memang sesuatu yang dalam pandangan saya ini musibah, kecelakaan. Kecelakaan itu adalah sesuatu yang tidak dikehendaki oleh pihak manapun.
Saya memaknai peristiwa yang terjadi di Al-Khoziny, robohnya bangunan di pesantren lalu kemudian mengakibatkan korban jiwa puluhan itu, dan belasan lain yang luka, itu adalah musibah, kecelakaan yang tentu harus diambil pelajaran dari situ.
Harus ada introspeksi, harus lalu kemudian menimbulkan mawas diri dan evaluasi kita. Poinnya adalah harus ada hikmah yang bisa kita ambil, dan ini hikmahnya sangat besar peristiwa yang kemarin itu. Jangan hanya memaknai musibah itu dari sisinya yang negatif, yang menyedihkan. Juga banyak sisi-sisi positif dari musibah itu. Karena ujian, cobaan itu adalah sesuatu medium cara untuk bagaimana kita bisa naik kelas. Nah, untuk bisa naik kelas maka mari kita lihat juga dari sisinya yang positif. Lalu kemudian bisa lebih berbenah diri, lebih mawas diri, dan seterusnya.
Pak, tapi dalam perjalanannya perkembangan pesantren, dulu dengan sekarang kan pasti ada perbedaannya. Apa yang perlu diperbarui dari tata kelola pesantren ini?
Pesantren itu memang sangat beragam, jenisnya, ragamnya, macamnya itu berbeda-beda. Nah, kurikulumnya yang diajarkan dan segala sesuatu yang terkait dalam pesantren itu. Tapi di antara beragamnya pesantren, khusus terkait dengan pembangunan, sarana-prasarana, pendirian, bangunan-bangunan yang ada di lingkungan pesantren, kurang lebihnya sama. Mereka umumnya melakukan secara swadaya, karena tidak ada pesantren pemerintah. Cara mereka membangun bangunan yang ada di lingkungan pesantren memang beragam. Ada yang betul-betul memenuhi SOP bagaimana lazimnya atau seharusnya sebuah bangunan itu didirikan sejak tahap perencanaannya, lalu pengorganisasiannya, pelaksanaannya, sampai pemantauannya, sampai monitoringnya. Itu betul-betul mengikuti SOP sebagaimana mestinya, kalau mau mendirikan suatu bangunan.
Tapi tidak sedikit pesantren yang karena ketidaktahuan, keterbatasan pimpinannya atau orang-orang yang ada di sana, kemudian tidak mengikuti ketentuan itu sebagaimana mestinya. Sehingga kemudian menimbulkan persoalan-persoalan. Saya pikir benar kejadian kemarin itu membuat kita semua harus sadar diri, berintrospeksi, bagaimana tata kelola pendirian bangunan di lingkungan pesantren itu harus lebih diperbaiki pada semua tahapannya. Yang tidak kalah pentingnya, di tiap tahapan itu perlu ada mitigasi. Mitigasi itu adalah antisipasi kita bila terjadi hal-hal yang tidak kita kehendaki.
Sampai detik akhir proses pencarian di Al Khoziny berakhir. Tidak ada tuntutan dari wali santri yang anak-anaknya menjadi korban. Bagaimana Anda melihatnya ?
Saya justru bersyukur dengan tidak adanya tuntutan seperti itu. Kalau ada tuntutan, artinya kan ada pihak-pihak yang ingin membawanya ke proses hukum. Kalau para pihak, masyarakat itu sendiri sudah bisa menyelesaikan masalahnya sendiri, tidak perlu dibawa ke proses hukum, itu lebih baik. Kalau tadi dikatakan ada kritik kenapa tidak ada yang memprotes atau membawa ke proses hukum, buat saya malah justru sebaliknya, kenapa harus dikritik, justru itu harus disyukuri. Karena hukum itu adalah cara terakhir ketika diantara kita tidak bisa menyelesaikan masalah kita sendiri. Lalu memerlukan lembaga peradilan untuk menyelesaikan persoalan kita. Dunia pesantren punya cara pandangnya tersendiri ketika menyelesaikan, menyikapi konflik-konflik, peristiwa seperti ini.
Bukankah pertanggungjawaban itu Penting?
Kejadian kemarin itu, Pesantren Al-Khoziny itu sudah menjadi pukulan yang luar biasa, khususnya bagi dunia pesantren. Bagi pemerintah, bagi negara juga itu hikmah tersendiri, pelajaran tersendiri. Kenapa kok selama ini kita enggak aware ya, pemerintah misalnya tidak melakukan kontrol, pengawasan, bagaimana konstruksi bangunan-bangunan lembaga-lembaga pendidikan keagamaan kita. Itu tidak hanya pesantren, lembaga pendidikan keagamaan kan banyak juga gitu.
Poin saya adalah, saya setuju harus ada tanggung jawab pihak-pihak yang lalu kemudian karena kelalaiannya, itu lalu kemudian menimbulkan kerugian pihak lain, apalagi korban jiwa, itu harus dimintai tanggung jawabannya. Tapi tanggung jawab itu kan beda-beda jenisnya. Yang paling ujung adalah ketika korban atau yang merasa dirugikan, menuntut tuntutan itu. Tapi kalau yang dirugikan dalam tanda kutip, itu lalu kemudian bisa mengikhlaskan, itu kan yang terbaik. Saya melihatnya begitu.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5382088/original/088390900_1760528669-Jepretan_Layar_2025-10-14_pukul_17.42.27.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)