Opensignal Ungkap Kecepatan Starlink Anjlok Usai Setahun Debut di Indonesia

Opensignal Ungkap Kecepatan Starlink Anjlok Usai Setahun Debut di Indonesia

Bisnis.com, JAKARTA— Perusahaan analitik jaringan seluler internasional, Opensignal, mengungkapkan kecepatan internet Starlink di Indonesia mengalami penurunan signifikan setelah 1 tahun beroperasi.

Dalam laporan terbarunya berjudul ‘Starlink di Indonesia—Satu Tahun Berlalu’, firma riset jaringan global tersebut mencatat adanya kemacetan jaringan yang memangkas kecepatan unduh dan unggah Starlink secara tajam sejak peluncurannya pada Mei 2024.

“Kecepatan Starlink menurun drastis. Kemacetan jaringan telah memangkas kecepatan unduh Starlink hingga hampir dua pertiga, dan kecepatan unggah hingga hampir setengahnya dalam waktu 12 bulan setelah peluncuran,” tulis Opensignal dalam laporannya yang dikutip Senin (13/10/2025).

Saat pertama kali hadir di Indonesia, Starlink mencatat kecepatan unduh rata-rata 42 Mbps dan unggah 10,5 Mbps. Namun, data Opensignal menunjukkan bahwa pada pertengahan 2025, kecepatan tersebut turun menjadi 15,8 Mbps untuk unduhan dan 5,4 Mbps untuk unggahan. Skor pengalaman video juga menurun dari 58,1 menjadi 53,1.

Menurut perusahaan analisis jaringan tersebut, penurunan ini disebabkan oleh lonjakan jumlah pengguna yang memicu kemacetan jaringan. Opensignal menyebut bahkan permintaan meningkat begitu cepat hingga Starlink sempat menghentikan sementara pendaftaran baru. Ketika layanan kembali dibuka pada Juli 2025, pelanggan baru dikenai biaya lonjakan permintaan yang sangat tinggi, mulai dari US$490–US$574 atau sekitar Rp8 juta hingga Rp9,4 juta. 

Meski kecepatannya menurun, Opensignal mencatat adanya sisi positif, yakni peningkatan konsistensi kualitas dari 24,2% menjadi 30,9% dalam periode yang sama. 

“Meskipun lebih lambat, peningkatan Starlink dari tahun ke tahun dalam metrik ini menunjukkan latensi yang lebih rendah serta perbaikan infrastruktur,” imbuh lembaga riset tersebut. 

Dalam perbandingan langsung dengan layanan fixed wireless access (FWA), Opensignal menilai Starlink hanya unggul dalam kecepatan unduh, sementara FWA lebih baik di hampir semua indikator lainnya terutama konsistensi kualitas yang hampir mencapai 50%, jauh lebih tinggi dibandingkan hasil Starlink.

Berdasarkan data lembaga itu, kecepatan unduh FWA tercatat 14,8 Mbps, unggahan 8,3 Mbps, dan konsistensi kualitas 49,7%, jauh di atas Starlink yang hanya 30,9% pada metrik serupa. 

FWA juga mencatat skor pengalaman video lebih baik, yakni 55,2 dibandingkan 53,1 milik Starlink. Sebagian besar layanan FWA di Indonesia masih berbasis 4G, sementara pengembangan 5G berjalan secara bertahap karena keterbatasan spektrum.

“Menghadapi kendala ini, operator beralih ke 4G FWA sebagai solusi yang pragmatis dan layak secara komersial untuk memenuhi permintaan pasar,” demikian  laporan Opensignal.

Segmen FWA saat ini didominasi oleh Telkomsel melalui produk Orbit, yang mencatat pertumbuhan pengguna 31% menjadi 1,1 juta pelanggan pada 2023. XLSMART juga menawarkan layanan serupa, sedangkan Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) mulai masuk ke pasar ini pada 2024 dengan produk HiFi Air yang diluncurkan bersamaan dengan kerja sama ekspansi jaringan bersama Nokia.

Opensignal menilai meskipun performa Starlink di Indonesia menurun secara agregat, layanan ini tetap memiliki peran strategis dalam memperluas konektivitas di wilayah kepulauan.

“Starlink menawarkan kinerja yang lebih merata secara nasional, memperluas akses hingga ke provinsi-provinsi terpencil di bagian timur seperti Maluku dan Papua. Sebaliknya, FWA lebih berfokus di Jawa, Sumatra, dan wilayah barat yang padat penduduk,” tulis Opensignal.

Namun, laporan tersebut juga menyoroti konsistensi kualitas Starlink masih lebih lemah di wilayah pedesaan, sementara FWA menunjukkan performa yang lebih stabil di berbagai tipe daerah. Selain aspek teknis, Opensignal menyinggung pula tantangan regulasi yang dihadapi Starlink di Indonesia.

“Menjelang peluncurannya pada Mei 2024, Starlink memperoleh izin VSAT dan ISP, namun Kominfo mengharuskan perusahaan tersebut mendirikan Network Operation Center (NOC) lokal untuk memantau layanan, karena dikhawatirkan jaringan satelitnya melewati gerbang domestik,” tulis Opensignal.

“Pemerintah juga memberlakukan pembatasan roaming untuk layanan broadband tetap berbasis satelit, serta pengawasan dari KPPU, yang merekomendasikan agar Starlink difokuskan pada wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Menurut perusahaan riset jaringan asal Inggris itu, meski menghadapi penurunan kinerja dan tantangan regulasi, Starlink tetap memainkan peran penting dalam ekosistem digital Indonesia, khususnya di daerah yang sulit dijangkau infrastruktur terestrial.

“Setelah 1 tahun beroperasi di Indonesia, Starlink telah membuktikan perannya dalam memperluas konektivitas ke daerah-daerah terpencil dan kurang terlayani. Namun, ekspansinya menghadapi tantangan besar mulai dari kemacetan jaringan yang mengikis kinerja, biaya tinggi yang membatasi akses, hingga tekanan regulasi yang berkelanjutan,” tulis Opensignal.

Laporan itu menegaskan masa depan Starlink di Indonesia akan sangat bergantung pada kemampuannya memperluas kapasitas, menjaga stabilitas kinerja, dan memposisikan diri sebagai pelengkap bagi FWA dan jaringan fiber, bukan pesaing langsung.

“Jika masalah-masalah tersebut dapat diatasi, Starlink berpotensi memainkan peran lebih besar dalam ekosistem digital Indonesia dan mendukung tujuan pemerintah dalam memperluas konektivitas serta inklusi digital,” tulis Opensignal.