Evolusi Syarat Capres-Cawapres: Dari Era Soekarno hingga Kini
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Syarat untuk menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Indonesia mengalami perjalanan panjang, mengikuti perubahan konstitusi dan dinamika politik sejak era Presiden Pertama RI, Soekarno hingga kini.
Dari semula berlandaskan semangat revolusi dan perjuangan kemerdekaan, kini ketentuan itu kian kompleks, menyesuaikan sistem demokrasi elektoral yang diatur undang-undang dan peraturan pemilu.
Pakar kepemiluan Titi Anggraini menilai, perubahan syarat pencalonan dari masa ke masa menunjukkan dua sisi mata uang antara demokratisasi dan pembatasan.
“Kalau kita telusuri, syarat pencalonan presiden dan wakil presiden memang mengalami pergeseran mengikuti dinamika politik dan perubahan konstitusi. Pada masa awal kemerdekaan, syaratnya sederhana dan menekankan integritas kebangsaan. Setelah reformasi, muncul penegasan baru seperti kewajiban dukungan partai serta syarat administratif dan moral yang lebih detail,” kata Titi kepada Kompas.com, Jumat (10/10/2025).
Namun, menurutnya, perubahan itu tidak selalu identik dengan penguatan demokrasi.
“Ada kecenderungan bahwa regulasi pencalonan semakin berfungsi sebagai instrumen kontrol politik dan pembatasan untuk ikut berkontestasi, bukan untuk penyaringan calon yang berkualitas,” kata dia.
Pada masa awal kemerdekaan, konstitusi Indonesia masih sederhana.
UUD 1945 sebelum amendemen menyebutkan presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Tidak ada mekanisme pemilihan langsung, dan tidak ada syarat elektoral yang rumit.
Syarat utama seorang calon presiden saat itu hanya mencakup warga negara Indonesia sejak lahir, tidak pernah menerima kewarganegaraan lain, dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam praktiknya, Soekarno terpilih secara aklamasi oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 sebagai presiden pertama RI, tanpa ada kompetisi politik atau mekanisme pencalonan seperti saat ini.
Memasuki masa Orde Baru, mekanisme pemilihan presiden tetap dilakukan oleh MPR.
Namun, prosesnya berubah menjadi sangat formalistik.
Presiden Soeharto terpilih secara berulang melalui MPR dengan pencalonan yang praktis tanpa pesaing.
Syarat calon presiden tetap merujuk pada UUD 1945, tetapi dalam praktiknya, dukungan politik di MPR yang didominasi Golkar dan ABRI memastikan Soeharto menjadi calon tunggal.
Meski demikian, pada masa ini mulai diperkenalkan ketentuan administratif, seperti batas usia minimum 35 tahun dan kewajiban setia kepada Pancasila dan UUD 1945.
Perubahan besar terjadi setelah amendemen UUD 1945 pada awal 2000-an.
Amandemen ketiga UUD mengubah sistem pemilihan presiden menjadi langsung oleh rakyat.
Pasal 6A UUD 1945 hasil amendemen menegaskan, pasangan capres-cawapres diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.
Sejak saat itu, aturan teknis diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Pemilu.
Pada Pemilu 2004, Indonesia untuk pertama kalinya menggelar pemilihan presiden secara langsung.
Syarat pencalonan diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2003, yang mewajibkan partai politik atau gabungan partai memiliki sekurang-kurangnya 15 persen kursi DPR atau 20 persen suara sah nasional.
Ambang batas ini, yang dikenal sebagai presidential threshold, kemudian menjadi perdebatan panjang karena dianggap membatasi munculnya alternatif calon di luar partai besar.
Titi menilai,
presidential nomination threshold
merupakan salah satu hambatan paling nyata terhadap demokratisasi elektoral di Indonesia.
“Awalnya, aturan ini dimaksudkan untuk memperkuat sistem presidensial agar tidak terlalu fragmentaris. Tapi dalam praktiknya justru membatasi jumlah calon, menghambat regenerasi elite, dan mempersempit pilihan rakyat,” ujarnya.
Menurutnya, ambang batas pencalonan presiden telah mengubah hak pencalonan menjadi privilege partai besar.
“Dalam sistem presidensial yang demokratis, setiap partai peserta pemilu seharusnya memiliki hak yang sama untuk mengajukan pasangan calon. Membatasi pencalonan berbasis hasil pemilu legislatif sebelumnya sangat tidak relevan, baik secara konstitusional maupun demokratis,” jelas Titi.
Ia menambahkan, untuk menjaga efektivitas pemerintahan presidensial, bukan jumlah calon yang harus dibatasi, melainkan sistem kepartaian dan proses pencalonannya yang diperkuat.
“Caranya dengan mendorong koalisi berbasis platform serta memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pencalonan,” kata Titi.
Dalam perkembangannya, peraturan pemilu terus berubah.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 mempertegas kembali ambang batas pencalonan sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) juga beberapa kali memutus perkara yang berkaitan dengan syarat pencalonan, termasuk soal usia minimal capres-cawapres dan status pejabat kepala daerah.
Putusan MK pada 2023, misalnya, membuka peluang bagi kepala daerah berusia di bawah 40 tahun untuk maju sebagai calon wakil presiden, asalkan berpengalaman sebagai kepala daerah terpilih.
Putusan ini memicu perdebatan publik karena dianggap membuka ruang politik dinasti.
Titi menilai, perdebatan batas usia menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia belum sepenuhnya mencapai meritokrasi dan keadilan kesempatan.
“Batas usia dibenarkan jika tujuannya memastikan kematangan dan kapasitas calon. Tapi kalau digunakan secara politis untuk membuka jalan bagi pihak tertentu atau menutup peluang pihak lain, maka itu bentuk ketidakadilan baru,” katanya.
Ia menegaskan, fenomena politik dinasti bukan semata soal hubungan keluarga, tetapi menyangkut etika kekuasaan.
“Demokrasi akan tetap sehat selama peluang politik didasarkan pada kemampuan dan pilihan rakyat, bukan pada akses istimewa terhadap sumber daya negara,” ujar Titi.
Untuk itu, menurutnya, arah regulasi ke depan perlu difokuskan pada pencegahan penyalahgunaan kekuasaan, bukan sekadar pelarangan hubungan keluarga semata.
Titi juga menekankan pentingnya penguatan proses rekrutmen politik di internal partai.
“Salah satu caranya dengan menerapkan syarat minimal sebagai kader bagi calon yang akan dinominasikan partai. Misalnya, berstatus sebagai kader minimal tiga tahun bagi calon anggota DPR dan DPRD. Dengan begitu, mereka yang dicalonkan benar-benar hasil proses kaderisasi,” ucapnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Evolusi Syarat Capres-Cawapres: Dari Era Soekarno hingga Kini Nasional 10 Oktober 2025
/data/photo/2024/10/20/671497d48bc97.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)