Titik Balik Desentralisasi Fiskal, Benarkah RI Kembali ke Era Orde Baru?

Titik Balik Desentralisasi Fiskal, Benarkah RI Kembali ke Era Orde Baru?

Bisnis.com, JAKARTA – Puluhan kepala daerah menemui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Mereka memprotes kebijakan pemerintah pusat yang secara serta merta memangkas anggaran transfer ke daerah (TKD). 

Sekadar catatan, pemerintah pusat telah mengalokasikan anggaran dana transfer ke daerah sebesar Rp692,995 triliun dalam APBN 2026. Dana transfer ke daerah itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan tahun ini senilai Rp919,9 triliun, turun 24,7% atau setara Rp226,9 triliun.

Pemangkasan anggaran ini memicu pertanyaan besar tentang nasib desentralisasi fiskal. Apalagi, pusat juga akan mengambil sebagian peran mereka meski dengan iming-iming dana berjuluk kompensasi lebih dari Rp1.000 triliun yang disalurkan dalam bentuk program, tentu saja programnya milik pemerintah pusat.

“Daerah tentu banyak sekali yang merasakan dampak dari [pemotongan] TKD itu, di antaranya ada daerah yang mungkin sulit membayar belanja pegawai, besar sekali. Apalagi ada keharusan membayar P3K dan sebagainya. Nah, ini luar biasa berdampak terhadap APBD 2026,” ujar Gubernur Jambi Al Haris, Selasa (8/10/2025).

Desentralisasi fiskal sendiri merupakan amanat dari Undang-undang Otonomi Daerah yang muncul dalam proses demokratisasi pasca reformasi 1998. Salah satu dalil dalam aturan itu adalah mengenai hak kewenangan keuangan yang dikelola oleh daerah. Selain itu, prinsip desentralisasi fiskal itu juga lahir dari implementasi UU tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Wujud desentralisasi fiskal itu adalah lahirnya kebijakan untuk memberikan dana transfer ke daerah, misalnya, melalui pengalokasian dana bagi hasil (DBH) hingga dana alokasi umum. Pada tahun 2009 muncul amandemen UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang memberikan kewenangan ke daerah untuk mengelola pajak khususnya pajak bumi dan bangunan, pajak restoran, hingga retribusi daerah. Tujuannya supaya daerah lebih mandiri dari sisi fiskal.

Namun demikian, kebijakan itu memang tidak sepenuhnya berlangsung optimal. Banyak terjadi penyelewengan anggaran daerah entah itu anggarannya dikorupsi atau pengalokasiannya tidak sesuai dengan tujuan pemberian desentralisasi fiskal. Setidaknya ada 200 kepala dan wakil kepala daerah yang dicokok KPK sejak 2005 lalu.

Tidak sampai di situ, sampai tahun 2024 lalu, masih banyak daerah yang memiliki kapasitas fiskal terbatas. Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bahkan mencatat masih ada sebanyak 166 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia yang memiliki pendapatan asli daerah alias PAD di bawah Rp100 miliar.

Situasi semakin pelik, alih-alih memperbaiki governance-ya, pemerintah pusat justru memangkas kewenangan daerah. Lahirnya UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah alias HKPD menjadi salah satu buktinya. Pemerintah pusat, bisa mengintervensi kebijakan tarif yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Tujuannya, konon adalah untuk mendorong efektivitas aktivitas perekonomian, meskipun faktanya sejak UU HKPD lahir, termasuk UU Cipta Kerja, ekonomi Indonesia masih stagnan di angka 5%.

Purbaya Dorong Tata Kelola 

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tidak menampik terkait adanya isu desentralisasi fiskal di bakim kebijakan pemangkasan anggaran. Dia justru mendorong supaya pemerintah daerah memperbaiki tata kelola fiskal agar upaya desentralisasi tidak terhalang.

Pernyataan itu Purbaya sampaikan usai puluhan gubernur dan wakil gubernur yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (Appsi) menyampaikan protes langsung atas pemotongan dana transfer ke daerah pada tahun depan.

Purbaya mengakui bahwa desentralisasi merupakan semangat Reformasi ’98. Hanya saja, pemerintah pusat menganggap tata kelola fiskal pemerintah daerah masih kurang baik meski sudah dilakukan desentralisasi.

“Desentralisasi enggak jelek-jelek amat, tapi pelaksanaan selama kemarin-kemarin mungkin ada kesan kurang bagus. Ada kesan ya, saya enggak tahu [aslinya],” ujar Purbaya di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Kamis (7/10/2025).

Oleh sebab itu, Purbaya mendorong agar pemerintah daerah memperbaiki tata kelola fiskalnya terlebih dahulu. Misalnya, dia mendorong pemerintah daerah mempercepat realisasi belanja. Jika dengan demikian maka tercipta kesan yang baik. Pemerintah pusat dan DPR pun tidak akan segan apabila dana transfer ke daerah kembali dinaikkan.

“[Tapi] bukan saya. Kan bukan saya yang ambil keputusan. Ini DPR, di atas-atas sana. Nanti baru bisa dibalik lagi arahnya ke arah desentralisasi,” jelas Purbaya.

Di samping itu, dia berjanji jika perekonomian sudah membaik yang ditandai dengan penerimaan pajak meningkat maka pemerintah pusat akan meningkatkan kembali dana transfer ke daerah. Purbaya mengaku akan melakukan evaluasi ulang pada pertengahan kuartal II/2026.

“Kalau naik semua, kita bagi. Tapi saya tidak dalam posisi sekarang membahayakan sustainabilitas kebijakan fiskal,” tekannya.

Kembali ke Zaman Orba? 

Sementara itu, pengamat ekonomi Universitas Mulawarman, Hairul, menilai kebijakan tersebut justru kontraproduktif di tengah kondisi perekonomian yang membutuhkan stimulus fiskal agresif. 

Hariul bahkan mengatakan bahwa kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah pusat justru kembali mengingatkan kepada pola pikir sentralistik yang pernah berlaku kerika Orde Baru berkuasa.

“Yang lebih penting itu bagaimana meyakinkan kelas menengah untuk kembali belanja bukan ngisi celengan untuk motif berjaga-jaga. Kalo gak gitu, jangan-jangan Rp200 Triliun hanya mutar-mutar di pasar uang, gak nyampe ke sektor riil,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Senin (6/10/2025).

Kebijakan pemotongan DBH ini, kata Hairul, mengacak-acak prinsip fundamental desentralisasi fiskal yang dikenal dengan istilah money follows function atau konsep yang menegaskan bahwa alokasi anggaran harus selaras dengan kewenangan yang diberikan kepada daerah. 

Dalam konteks ini, ketika transfer dana dipangkas secara signifikan, maka secara logis kewenangan pemerintah daerah juga harus dikurangi secara proporsional.

Namun demikian, realitas yang terjadi justru sebaliknya. Menurutnya, Pemerintah daerah tetap dibebani tanggung jawab yang sama, sementara sumber pendanaan untuk menjalankan fungsi-fungsi tersebut mengalami penyusutan drastis. 

Kondisi ini, kata dia, berpotensi melumpuhkan kapasitas pemerintah provinsi dalam menjalankan kewenangannya secara efektif.

Adapun, dia menuturkan jika program-program strategis seperti pembangunan infrastruktur dialihkan kembali ke tangan pemerintah pusat melalui mekanisme K/L, fungsi dan relevansi keberadaan pemerintah provinsi berpotensi terdegradasi perannya dalam tata kelola pemerintahan.

“Lah ini kan cara berpikir orba banget dengan sentralisasinya. Kalo begitu hapuskan aja provinsi, cukup K/L & kabupaten/kota, (maka) hilang fungsi kan provinsi,” pungkasnya.