Eks Dirut PT PGN Dipanggil KPK, Dugaan Korupsi Jual Beli Gas

Eks Dirut PT PGN Dipanggil KPK, Dugaan Korupsi Jual Beli Gas

Bisnis.com, JAKARTA – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pemeriksaan terhadap mantan Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara periode 2009-2011, Hendi Prio Santoso (HPS), pada hari ini.

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengatakan pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.

“KPK menjadwalkan pemeriksaan terkait dugaan TPK kerja sama jual beli gas antara PT PGN dan PT IAE,” kata Budi, Rabu (1/10/2025).

Budi belum merincikan apa saja materi yang akan didalami selama proses pemeriksaan. Meski begitu, pada Jumat (11/4/2025), KPK telah menahan dua tersangka dalam kasus ini, yakni mantan Direktur Komersial PGN periode 2016–2019, Danny Praditya (DP), serta mantan Direktur Utama PT Isargas periode 2011–2024, Iswan Ibrahim (ISW), yang juga menjabat Komisaris PT IAE periode 2006-2024.

Sebagai informasi, kasus ini bermula dari keputusan DP yang memaksakan pembelian gas dari PT IAE. Padahal pembelian tidak tercantum dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) tahun 2017 serta tidak melalui prosedur tata kelola yang semestinya.

DP kemudian menginisiasi kerja sama melalui bawahannya tanpa melibatkan unit Pasokan Gas yang berwenang. Dia memerintahkan tim pemasaran menyusun kajian dan menjalin kerja sama dengan grup ISARGAS, termasuk meminta pembayaran uang muka sebesar US$15 juta.

Namun, uang yang dibayarkan pada 9 November 2017 itu tidak dibelanjakan untuk pembelian gas, tetapi dialokasikan menutup utang IAE/ISARGA kepada pihak ketiga. Padahal, perjanjian kerja sama baru ditandatangani pada 2 November 2017, hanya sepekan sebelum pembayaran dilakukan.

Bahkan kerja sama tetap berjalan meskipun hasil uji kelayakan pada 2018 menyatakan ISARGAS tidak layak diakuisisi. Skema jual-beli gas dinilai melanggar Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2016, sebagaimana disampaikan BPH Migas dan Kementerian ESDM.

Pada 2021, BPH Migas dan Komisaris Utama PGN merekomendasikan penghentian kontrak sekaligus menyarankan langkah hukum. Pada Oktober 2024, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan negara merugi sebesar USD15 juta akibat transaksi tersebut.