Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menanggapi kritik atas kebijakan pemerintah yang memutuskan tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau tahun ini.
Usai mendampingi Presiden Prabowo Subianto dalam pertemuan dengan investor global Ray Dalio di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (30/9/2025), Purbaya menyebut bahwa setiap kebijakan pasti mengundang pro dan kontra.
“Enggak apa-apa, jadi gini, setiap kebijakan kan ada pro dan kontra. Ada yang suka, ada yang nggak suka. Cuman kita lihat yang mana yang paling bermanfaat buat ekonomi dan masyarakat. Itu yang kita kerjakan. Kan sudah hitung alasannya kenapa,” ujar Purbaya menanggapi aksi kritik berupa pengiriman karangan bunga ke kantornya.
Dia menegaskan bahwa keputusan tidak menaikkan cukai tembakau diambil untuk menjaga kelangsungan industri rokok dalam negeri sekaligus melawan peredaran produk ilegal.
“Karena saya nggak mau industri kita mati. Terus kita biarkan yang ilegal hidup. Nggak naik udah syukur. Harusnya kan mereka minta turun. Untungnya minta turun sih. Mereka bilang sudah cukup nggak naik. Sambil saya jaga market di sini supaya produk-produk ilegal dari luar maupun dari dalam tidak menguasai pasar,” jelasnya.
Menjawab kritik bahwa alasan kesehatan seharusnya menjadi prioritas dalam kebijakan cukai, Purbaya menilai perlu keseimbangan antara aspek kesehatan dan keberlangsungan ekonomi.
“Kalau dia kesehatan, kalau dia bisa menciptakan lapangan kerja sebanyak yang hilang gara-gara industri yang mati, boleh kita ubah kebijakannya langsung. Cuman kalau dia nggak bisa, jangan ngomong aja. Kan masyarakat juga perlu penghidupan kan. Saya bilang harus ada keseimbangan kebijakan,” tegasnya.
Purbaya menambahkan, pendekatan untuk mengurangi konsumsi rokok harus dilakukan secara bertahap dengan program yang jelas, termasuk alternatif penciptaan lapangan kerja baru.
“Kalau kita mengajarin supaya mereka nggak ngerokok, ya diajarin pengertian supaya nggak ngerokok. Dan harusnya bertahap. Saya belum melihat program yang bertahap, yang menciptakan lapangan kerja, yang menggantikan orang-orang yang kerja di industri rokok. Kalau itu tutup semua, jadi dia desain kebijakannya apa, nanti saya ikutin. Kalau bagus,” tandas Purbaya.
Kritik Kebijakan Cukai
Sebelumnya, Ketua Umum Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) Manik Marganamahendra, bersama ratusan jaringan pemuda dari sejumlah organisasi kepemudaan Indonesia pagi ini mengirim papan bunga ke Kementerian Keuangan, berisi kritik tajam kepada Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang dijuluki “Menteri Koboi”. Aksi simbolis ini menanggapi keputusan pemerintah untuk membatalkan kenaikan cukai rokok 2026 setelah mendengar masukan dari industri rokok.
Selain IYCTC dan jaringan pemuda, aksi papan bunga juga dikirimkan oleh berbagai kelompok masyarakat sipil lainnya, mulai dari organisasi perempuan terdampak rokok, Aliansi Masyarakat Korban Rokok Indonesia (AMKRI), hingga aliansi masyarakat sipil yang selama ini aktif mendesak regulasi pengendalian rokok di Indonesia. Aksi ini menegaskan bahwa penolakan bukan hanya suara orang muda, tapi juga aspirasi publik luas yang merasakan langsung dampak rokok.
“Kalau jadi menteri koboi ya silahkan Pak, tapi jangan koboi-koboian sama industri rokok, artinya jangan main tarik ulur dengan mereka, kalau mau ya tegas ke semua, termasuk tetap kasih cukai tinggi untuk produk rokok bukan malah nggak naik apalagi diturunkan,” ujar Manik lewat rilisnya, Selasa (30/9/2025).
Istilah ‘Menteri Koboi’ ini digunakan secara figuratif untuk menggambarkan pemimpin yang tegas, berani mengambil keputusan, dan tidak takut melangkah. Namun, menurut para pemuda, sikap koboi tidak boleh diterjemahkan sebagai kesembronoan.
“Kalau alasan Pak Menteri membatalkan kenaikan cukai rokok karena mendengar masukan dari industri rokok, lalu kapan Bapak akan mendengar suara kami yang terdampak? Saat ini sudah hampir 6 juta anak Indonesia menjadi perokok aktif karena murahnya harga rokok, belum lagi, penggunaan rokok elektronik di kalangan remaja yang naik drastis dalam satu dekade terakhir. Padahal, cukai yang lebih tinggi bisa menjadi alat efektif untuk mencegah generasi muda terjebak dalam siklus kecanduan dan penyakit akibat rokok.” sambung Manik.
Manik menegaskan bahwa setiap tahun, Indonesia kehilangan ratusan juta tahun hidup sehat (QALYs) karena rokok. BPJS Kesehatan sampai harus keluar Rp15,6 triliun untuk menanggung penyakit akibat rokok di 2019, sementara keluarga ekonomi kecil menghabiskan 12% gajinya hanya untuk membeli rokok, bukan makanan bergizi atau sekolah anak.
Dia juga mengingatkan rekomendasi WHO yang menyebut cukai rokok seharusnya membuat harga rokok minimal 70% lebih mahal agar efektif melindungi publik. Menunda kenaikan demi “dialog industri” menurut Manik adalah sinyal bahwa kesehatan masyarakat belum menjadi prioritas.
Manik juga membahas terkait alasan Purbaya membatalkan kenaikan cukai rokok. Menurutnya, klaim seperti kenaikan cukai akan menyebabkan PHK besar-besaran adalah narasi yang sering digunakan untuk menekan kebijakan fiskal sehat.
“Justru, sudah banyak studi membuktikan bahwa kenaikan cukai tidak berdampak terhadap pekerjaan. Penelitian industri manufaktur Indonesia menunjukkan bahwa dalam beberapa subsektor, termasuk produk tembakau, absorpsi tenaga kerja cenderung stagnan atau menurun karena efisiensi/mekanisme produksi menunjukkan bahwa PHK lebih terpengaruh oleh teknologi dan efisiensi produksi, bukan sekadar tarif cukai.” ungkapnya.
