Surabaya (beritajatim.com) – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya mengungkap dugaan adanya penyiksaan dan kekerasan seksual yang dilakukan sejumlah oknum aparat kepolisian terhadap peserta aksi unjuk rasa 29–30 Agustus 2025 di Surabaya. Hal itu disampaikan dalam konferensi pers di Surabaya, Selasa (23/9/2025).
Dalam forum tersebut, KontraS menayangkan video pendek berisi kesaksian dua korban dengan nama samaran Warno dan Warni. Keduanya ditangkap aparat namun dibebaskan karena tidak terbukti bersalah. Mereka mengaku mengalami penganiayaan fisik maupun kekerasan seksual selama ditahan dan diperiksa di Mapolrestabes Surabaya.
“Selang, tongkat, sabuk dipukulkan ke punggung berkali-kali. (jumlah orang yang mendapat tindak penganiayaan) sekitar 150-an,” kata Warno dalam cuplikan video tersebut.
Sementara Warni mengungkap pengalaman kekerasan seksual yang dialaminya saat menjalani tes urine. Ia mengaku dipaksa aparat untuk mengoleskan balsem pada kemaluannya, bergantian dengan korban lainnya. “Pas tes urin alat kelamin kita (sensor), dikasih balsem bagian (sensor). Gantian saya ngasih balsem duluan (kemudian berlanjut). Ya anak-anak (dipaksa) ayo kencing ayo kencing, terus misal kencingnya cuma satu tetes dua tetes langsung disikat (dipukul),” ujarnya.
Kabiro Kampanye HAM KontraS Surabaya, Zaldi Maulana, menyebut kondisi psikologis korban maupun orang tua mereka masih terguncang. Ia menyoroti khususnya Warno yang masih berusia 18 tahun dan berstatus pelajar kelas XII SMK.
“Untuk langkah hukum kami belum memutuskan, karena itu hak keputusan korban. Sampai hari ini kami masih terus berkoordinasi dengan orang tua, sebab kondisinya ini belum stabil masih ada rasa ketakutan,” jelasnya.
Zaldi juga menekankan bahwa dugaan kekerasan seksual menimpa Warni dan sekitar 19 orang lainnya. Menurutnya, saat tes urine para korban dipaksa aparat untuk saling mengoleskan balsem pada kemaluan secara bergantian dan dalam jumlah banyak, tanpa diizinkan menggunakan kamar mandi.
Hingga kini, Kasi Humas Polrestabes Surabaya AKP Rina Shanty Dewi Nainggolan belum berkenan memberikan tanggapan resmi atas dugaan tersebut.
KontraS Surabaya mendesak Polri menghentikan penangkapan massal, membebaskan seluruh tahanan, menghormati hak memilih penasihat hukum independen, serta menghentikan narasi kriminalisasi anarkisme. Mereka juga meminta pemerintah menegakkan penuh UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan prinsip diversi, sementara lembaga independen seperti Komnas HAM, KPAI, dan Ombudsman didesak segera melakukan investigasi.
Selain itu, KontraS mendesak mekanisme HAM PBB menjadikan kasus ini sebagai indikator lemahnya implementasi ICCPR, CRC, dan CAT di Indonesia. [rma/beq]
