Jember (beritajatim.com) – Naskah Rancangan Peraturan Daerah Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten Jember (Riparkab) 2025-2040 memantik kekecewaan sejumlah pelaku pariwisata, yang menghadiri uji publik, di kantor pemerintah daerah, Selasa (23/9/2025).
Raperda ini sudah diagendakan dan dibahas di parlemen sejak 2022. Namun isi raperda dinilai tidak akurat dan tidak mewakili kondisi sesungguhnya dunia pariwisata Jember.
Hasti Utami, perwakilan Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Jember, mengatakan, uji publik sebenarnya sudah dilaksanakan pada 2022. Awalnya dia berharap setelah uji publik itu, naskah perda bisa diperbarui berdasarkan masukan dari para pelaku pariwisata.
“Tapi ternyata naskah ini kami terima tiga tahun kemudian tanpa ada perubahan satu pun. Itu yang kami sayangkan,” kata Hasti.
Hasti juga menyoroti pembagian sebelas Destinasi Pariwisata Kabupaten. (DPK). Dalam raperda tersebur dijelaskan, DPK ditetapkan dengan kriteria kawasan geografis dengan cakupan wilayah kecamatan dan/atau lintas kecamatan yang di dalamnya terdapat KSPK (Kawasan Strategis Pariwisata Kabupaten), memiliki daya tarik wisata yang berkualitas dan dikenal secara luas, serta membentuk jejaring produk wisata dalam bentuk pola pengemasan produk dan pola kunjungan wisatawan; memiliki kesesuaian tema daya tarik wisata yang mendukung penguatan daya saing; memiliki dukungan jejaring aksesibilitas dan infrastruktur yang mendukung pergerakan wisatawan dan kegiatan kepariwisataan; dan memiliki keterpaduan dengan rencana sektor terkait.
Sebelas DPK yang dimaksud adalah
DPK Sumberjambe – Ledokombo – Silo dan Sekitarnya;
DPK Tempurejo – Ambulu – Wuluhuan dan Sekitarnya;
DPK Puger – Gumukmas dan Sekitarnya;
DPK Kencong – Jombang – Sumberbaru dan Sekitarnya;
DPK Tanggul – Semboro – Umbulsari dan Sekitarnya;
DPK Bangsalsari – Balung – Rambipuji dan Sekitarnya;
DPK Panti – Sukorambi – Jelbuk dan Sekitarnya;
DPK Sukowono – Kalisat – Arjasa dan Sekitarnya;
DPK Patrang – Sumbersari – Kaliwates dan Sekitarnya;
DPK Mayang – Mumbulsari – Pakusari dan Sekitarnya;
DPK Jenggawah – Ajung dan Sekitarnya.
“Yang saya lihat seperti daftar kecamatan. Bukan klasterisasi kawasan wisata. Landasan pembagian DPK ini apa? Klasifikasi itu dasarnya apa? Itu harus diperjelas dulu dan harus ditulis di dalam raperda ini,” kata Hasti.
Hasti mengkritik tercantumnya wisata bahari di Kecamatan Mayang yang tidak memiliki laut dalam raperda itu. “Artinya di Mayang ada lautnya ini. Mungkin masih ada di dalam bumi dan belum digali,” sindirnya.
Pelaku pariwisata sendiri sudah memiliki pembagian kawasan tersendiri, yakni kawasan teiintegrasi segara kidul (laur selatan), wisata budaya terintegrasi Argopuro-Raung, dan perkotaan. “Kami menyusun ini dengan landasan jelas, Mentoring kami Kementerian Pariwisata Ekonomi Kreatif saat itu,” kata Hasti.
David Handoko Seto, Ketua Fraksi Partai Nasional Demokrat DPRD Jember juga mempertanyakan penyebutan potensi wisata bahari di DPK Sumberjambe – Ledokombo – Silo dan sekitarnya. “Mana ada laut di sana,” katanya.
David meminta tim perumus berhati-hati dalam membuat narasi. “Jangan sampai ketika nanti sudah kadung mucul kemudian ada sesuatu yang enggak pas, yang membuat kita harus mereview,” katanya.
Nur Hidayat, Ketua Indonesia Inbound Tour Operators Association (IINTOA) Jember, sebuah asosiasi yang beranggotakan perusahaan-perusahaan biro perjalanan wisata, penasaran dengan parameter atay kriteria pembagian DPK
“Kami di industri pariwisata sangat detail dalam menjadikan sebuah destinasi sebagai lokasi atau prioritas untuk kunjungan,” kata Nur Hidayat. Hal ini dikarenakan tempo perjalanan dan masa tinggal wisatawan sangat terbatas.
Nur Hidayat ,menyebut DPK dan KSPK adalah identitas pariwisata Jember. Menurutnya, kekeliruan penentuan DPK akan berimbas pada pengembangan industri pariwisata oleh pemerintah.
“Visi branding dan identitas dari Jember itu dasarnya dari ini. Jangan dasarnya dari menurut saya, pemikiran saya, suka-suka saya. Tidak begitu dong. Kita orang akademik harus ada landasan kualitatif dan kuantitatif kuantitatifnya,” kata Nur Hidayat.
Christo Samurung Tua Sagala, anggota tim perumus, mengatakan, naskah raperda itu turunan dari rencana induk di tingkat provinsi dan nasional. “Jadi apakah karena ini dari tiga tahun lalu, ini harus diganti semua, dihapus semua,” katanya.
Chrusto menekankan perbaikan dilakukan terhadap naskah raperda tanpa menengok tiga tahun ke belakang. “Kalau tuga tahun lalu, saya juga enggak ikut di sini Kan bisa-bisa dikatakan begitu,” katanya.
Soal DPK, Christo mengatakan, itu mengacu pada teritorial. “Tapi kembali lagi kita sampaikan, dengan cara apa kita mengkategorisasi DPK ini? Apakah berdasarkan daerah? Daerah itu kan berkaitan dengan teritorial. Bukan apa yang mau dijual, bukan dari jenisnya sama atau tidak. Bahasanya kan DPK,” katanya.
Christo lantas meminta masukan kepada forum. “Apakah kita akan menentukan daerah sesuai dengan teritorial wilayah atau dengan spesifikasi kesamaan alamnyam potensinya, atau dengan cara apa. Kalau misalnya dengan potensinya, tentu yang lebih memahami ini adalah rekan-rekan yang ada di lapangan. Saya dari Medan. Baru dua tahun di Jember,” katanya.
Hermanto Rohman, akademisi Universitas Jember, mengusulkan agar DPK tak perlu dirinci. “Saya khawatir ini terlalu mengunci untuk jangka panjangnya Beberapa perda tentang riparkab tidak dirinci detail seperti ini. Nah, ini merinci detail kewilayahannya dan detail potensinya,” katanya.
Hermanto mengusulkan DPK sebaiknya dijadikan lampiran perda yang bisa dievaluasi. “DPK dan KSPK akan ditetapkan melalui peraturan Bupati,” katanya.
Hal ini dikarenakan, nenurut Hermanto, kewilayahan Jember tidak akan berubah. “Dalam konteks kewilayahan terkait dengan DPK ini, nanti diisi di lampiran.Nah, di lampiran ini enggak apa-apa menyebutkan sebagai satu kesatuan perda dengan menyebutkan apa saja wisata yang ada,” katanya.
Wakil; Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah Jember Tabroni akhirnya memutuskan agar masalah DPK ini dibahas dalam sebuah forum diskusi grup di Komisi B DPRD Jember. “Semua masukan teman-teman pelaku pariwisata diperhatikan,” katanya. [wir]
