OPINI: Beban Utang Luar Negeri

OPINI: Beban Utang Luar Negeri

Bisnis.com, JAKARTA – Posisi Utang Luar Negeri Indonesia per Juli 2025 di laporkan menurun. Posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia pada Juli 2025 tercatat sebesar US$432,5 miliar, menurun dibandingkan dengan posisi Juni 2025 sebesar US$434,1 miliar.

Meski jumlah utang luar negeri turun, tetapi bukan berarti kita benar-benar aman dari tekanan utang luar negeri.

Postur APBN Indonesia diakui atau tidak hingga kini masih terus tertekan karena dibebani utang luar negeri yang jatuh tempo dalam jumlah yang besar. Dalam rapat kerja Komisi X DPR dengan Menteri Keuangan baru Purbaya Yudhi Sadewa di Senayan tanggal 8 September 2025 lalu, sejumlah anggota DPR mengingatkan tentang bahaya resiko gagal bayar (default). Sebagai Menkeu, Purbaya diminta memikirkan skenario pengurangan utang luar negeri, terutama untuk mengurangi rasio utang terhadap PDB. Utang luar negeri yang terlampau besar, bukan tidak mungkin akan menyebabkan kondisi ekonomi nasional tidak sehat karena beban pembayaran utang dan cicilan utang yang terlampau besar.

Ketergantungan terhadap utang yang terus terjadi dari tahun ke tahun, dikhawatirkan akan mendorong Indonesia terjerumus menanggung beban pembiayaan pembangunan yang tidak signifikan mendorong pertumbuhan ekonomi. Pergantian Menkeu adalah momentum untuk menakar ulang dan merumuskan strategi yang lebih efektif untuk melepaskan diri dari ketergantungan utang luar negeri. Mungkinkah?

Menurut Bank Indonesia, secara tahunan, utang luar negeri Indonesia tumbuh 4,1% (YoY), melambat dibandingkan pertumbuhan 6,3% (YoY) pada Juni 2025. Perkembangan tersebut terutama bersumber dari perlambatan pertumbuhan utang luar negeri sektor publik. Sedangkan untuk utang luar negeri pemerintah pada Juli 2025 tercatat sebesar US$211,7 miliar, atau tumbuh sebesar 9,0% (YoY), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan 10,0% (YoY) pada Juni 2025.

Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh perlambatan pertumbuhan posisi pinjaman luar negeri dan surat utang pemerintah. Sebagai salah satu instrumen pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dikelola secara cermat, terukur, dan akuntabel, pemanfaatan utang luar negeri terus diarahkan pemerintah untuk mendukung pembiayaan sektor produktif dalam menjaga momentum pertumbuhan perekonomian Indonesia.

Posisi utang luar negeri pemerintah relatif terjaga karena didominasi utang jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9% dari total utang luar negeri pemerintah.

Untuk utang luar negeri swasta per Juli 2025 tercatat stabil dibandingkan bulan sebelumnya pada kisaran 195,6 miliar dolar AS, atau mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 0,3% (YoY). Berdasarkan sektor ekonomi, pangsa utang luar negeri swasta terbesar berasal dari Sektor Industri Pengolahan; Jasa Keuangan dan Asuransi; Pengadaan Listrik dan Gas; serta Pertambangan & Penggalian, dengan pangsa mencapai 80,4% terhadap total utang luar negeri swasta.

Pemerintah mengklaim bahwa struktur utang luar negeri Indonesia masih dalam kategori sehat. Tetapi, bukan berarti utang luar negeri Indonesia benar-benar aman. Saat ini, beban pembayaran utang dan bunga utang yang harus dibayar pemerintah sesungguhnya sudah mencapai Rp1.300 triliun. Pada 2025, pemerintah diperkirakan harus membayar bunga utang Rp552,1 triliun atau 16% dari total belanja negara. Padahal angka amannya di kisaran 10%. Selain itu, debt service ratio (DSR) atau rasio pembayaran utang terhadap penerimaan negara juga jauh di atas di batas aman 25%.

Bagi Indonesia, kewajiban membayar utang pokok dan cicilan utang sesungguhnya adalah beban yang berat, terutama ketika sumber-sumber penerimaan APBN tidak tercapai sebagaimana diharapkan. Untuk membiayai delapan program prioritas pemerintah kita tahu dibutuhkan dana yang sangat besar, yakni sekitar Rp3.000 triliun. Ketika alokasi APBN yang diperuntukkan untuk membayar utang luar negeri besar, maka resikonya alokasi dana untuk program pembangunan menjadi tidak terlampau signifikan.

Sejumlah risiko yang harus ditanggung Indonesia ketika utang luar negeri terlampau besar, antara lain adalah: Pertama, utang luar negeri yang besar dapat memengaruhi stabilitas moneter, sehingga bukan tidak mungkin akan meningkatkan risiko terjadinya inflasi dan depresiasi mata uang. Kedua, utang luar negeri yang terlampau besar, niscaya akan membuat posisi Indonesia lemah dan tergantung pada kreditur luar negeri. Pengalaman telah banyak membuktikan ketika kita terlalu tergantung pada utang luar negeri, maka langsung maupun tidak langsung akan mengurangi kemampuan Indonesia untuk mengambil ke putusan ekonomi yang independen. Ketiga, utang luar negeri yang besar menyebabkan beban pembayaran utang menjadi berat, sehingga mengurangi kemampuan negara untuk membiayai program-program pembangunan lainnya.

Bagi Indonesia, kebutuhan membiayai pro-gram-program pembangunan yang gigantis, umumnya menyedot alokasi dana yang besar.

ALTERNATIF

Untuk memastikan agar beban utang luar negeri tidak makin berat, tentu yang dibutuhkan adalah bagaimana mengelola utang dengan bijak sembari mencari jalan keluar dari ketergantungan akan utang. Selain mempertimbangkan kemampuan membayar dan memilih utang dengan suku bunga yang rendah dan jangka waktu yang panjang, yang tak kalah penting adalah bagaimana mencari alter-natif sumber pembiayaan di luar utang.

Indonesia agar dapat lepas dari ketergantungan utang, tentu harus dapat meningkatkan pendapatan negara. Sumber-sumber pendapatan alternatif, seperti pajak, ekspor dan sumber daya alam jika dikelola dengan baik niscaya akan dapat mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Di samping itu, satu hal yang tak kalah penting adalah bagaimana memastikan agar pengelolaan utang dan anggaran pembangunan benar-benar dilakukan secara transparan.

Tanpa adanya transparansi dan kemampuan untuk mencari sumber pendanaan alternatif, jangan harap Indonesia mampu keluar dari beban utang luar negeri yang terus menghantu