Antara Tax Gap dan Langkah Menggantung Menteri Purbaya Tutup Shortfall Pajak

Antara Tax Gap dan Langkah Menggantung Menteri Purbaya Tutup Shortfall Pajak

Bisnis.com, JAKARTA — Risiko pelebaran shortfall atau selisih realisasi dengan target penerimaan pajak semakin terbuka. Apalagi realisasi penerimaan pajak sampai Juli 2025 hanya sebesar Rp990,01 triliun atau masih kurang Rp1.086,89 triliun dari outlook APBN 2025 senilai Rp2.076,9 triliun. 

Sejauh ini, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memastikan tidak akan mengeluarkan kebijakan pajak baru untuk mengejar kekurangan penerimaan pajak. Dia cukup yakin bahwa ketika ekonomi membaik maka penerimaan pajak akan naik.

Oleh karena itu, Purbaya memilih fokus untuk membenahi perekonomian sebagai upaya menciptakan kinerja penerimaan pajak yang berkesinambungan.

“Kalau ekonominya bagus, misalnya jurus saya berhasil, harusnya sih ekonominya akan lebih bergaya dan pendapatan pajaknya lebih tinggi juga,” kata Purbaya, Jumat pekan lalu.

Namun demikian, kalau menurut catatan ke belakang, kinerja penerimaan pajak tidak selalu linier dengan pertumbuhan ekonomi. Ada persoalan tax gap yang tidak melulu dipicu oleh kinerja perekonomian. Celah pajak ini bisa berasal dari kepatuhan wajib pajak hingga kebijakan yang disusun oleh pemerintah.

Contoh tax gap yang bersumber dari kebijakan pemerintah itu antara lain penerapan baseline penghasilan tidak kena pajak (PTKP), tax exemption, hingga berbagai insentif yang digelontorkan untuk mendorong kinerja sektor-sektor perekonomian tertentu. Soal yang terakhir ini, mencakup kebijakan ‘pembebasan pajak’ dalam berbagai paket kebijakan ekonomi yang ditempuh pemerintah belum lama ini.

Belum lagi, persoalan klasik tentang cerita-cerita mengenai pengusaha yang menghindari pembayaran pajak dengan memanfaatkan celah regulasi seperti mengakali transfer pricing hingga membentuk perusahaan-perusahaan di negara suaka pajak.

Sejauh ini pemerintah selalu tidak optimal untuk mengejar pengusaha-pengusaha yang mengemplang pajak. Hal ini dibuktikan dengan realisasi pengampunan pajak atau tax amnesty yang dilakukan berjilid-jilid namun tidak berdampak secara signifikan terhadap kepatuhan formal wajib pajak (WP). 

Contoh lain untuk melihat betap besarnya tax gap di Indonesia tampak dari rasio daya pungut Direktorat Jenderal Pajak alias DJP terhadap produk domestik bruto atau dalam terminologi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sering disederhanakan sebagai tax ratio dalam arti kecil. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp11.612,9 triliun hingga semester I/2025.

Sementara berdasarkan pembukuan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), realisasi penerimaan sebesar Rp831,3 triliun pada semester 1/2024. Itu artinya pemerintah hanya memungut 7,15% dari total PDB semester 1/2025. Rendahnya daya pungut pemerintah itu juga bisa ditelusuri dengan menghitung kinerja jenis-jenis pajak yang menjadi sumber utama penerimaan, salah satunya PPN. 

Kinerja PPN adalah anomali dalam penerimaan pajak. Sekadar ilustrasi, pemerintah sampai saat ini mengkaim bahwa daya beli pemerintah masih cukup terjaga. Klaim ini diperkuat oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) yang memaparkan bahwa sepanjang semester 1/2025 lalu pertumbuhan konsumsi rumah tangga berada di angka 4,96% atau lebih tinggi dibandingkan dengan semester II/2024 yang tercatat sebesar 4,92%.

Namun demikian, tren pertumbuhan konsumsi ini tidak sejalan dengan kinerja penerimaan pajak pertambahan nilai atau PPN. Data penerimaan pajak pada Semester 1/2025 mencatat realisasi PPN sebanyak Rp267,27 triliun atau terkontraksi sebesar 19,7% dibandingkan realisasi tahun lalu yang tercatat sebesar Rp332,81 triliun.

Artinya ada ketidakelastisan antara kinerja konsumsi rumah tangga yang merepresentasikan daya beli masyarakat dengan penerimaan PPN. Kalau merujuk data BPS, secara kumulatif konsumsi rumah tangga mencapai Rp6.317,2 triliun pada semester 1/2025. Menariknya, jumlah PPN yang dipungut otoritas pajak hanya di angka Rp267,27 triliun atau sekitar 4,2% dari total aktivitas konsumsi masyarakat.

Tidak optimalnya penerimaan PPN itu dipicu oleh kebijakan pengecualian pajak yang diterapkan pemerintah untuk menopang konsumsi yang masih menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi.

Boros Belanja Pajak Konsumsi 

Bisnis mencatat bahwa, insentif untuk aktivitas konsumsi masih mendominasi struktur belanja pajak atau tax expenditure yang digelontorkan pemerintah dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Di dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, proyeksi belanja pajak tercatat sebesar Rp563,6 triliun.

Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2025, misalnya, proyeksi belanja pajak hanya ada di kisaran angka Rp530,3 triliun atau mengalami kenaikan sebesar 6,27%.

Adapun dalam RAPBN 2026, PPN dan PPnBM mendominasi proyeksi belanja perpajakan. Besarannya mencapai Rp371,9 triliun atau 65,9% dari total belanja perpajakan tahun depan. Pada 2025 pun porsi belanja pajak untuk PPN dan PPnBM terbesar yakni diproyeksikan Rp343,3 triliun atau 64,7%. Artinya ada kenaikan secara persentase.

Hal itu sebagaimana 2021-2024 yakni belanja perpajakan untuk PPN dan PPnBM selalu memakan porsi terbesar yakni estimasi Rp169,9 triliun atau 57,9% pada 2021, Rp190,4 triliun atau 57,9% pada 2022, Rp208,2 triliun atau 57,8% pada 2023, dan Rp227,8 triliun atau 56,9% pada 2024. 

Tren Berburu di Kebun Binatang 

Pemicu tax gap lainnya selain dari kebijakan juga karena rendahnya kepatuhan formal wajib pajak. Tren rasio kepatuhan formal wajib pajak yang hanya di angka 71% menunjukkan bahwa tudingan bahwa Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak masih berburu di kebun binatang bukan isapan jempol semata.

Hal ini juga mengonfirmasi bahwa berbagai kebijakan yang ditempuh pemerintah melalui serangkaian reformasi pajak juga tidak sepernuhnya optimal. 

Sekadar catatan, Direktorat Jenderal Pajak melaporkan terjadi penurunan kepatuhan formal penyampaian surat pemberitahuan tahunan (SPT Tahunan) 2024 wajib pajak orang pribadi (WP OP).

Setiap tahunnya, SPT Tahunan dilaporkan paling lambat pada 31 Maret untuk WP OP dan 30 April untuk WP Badan. Pada tahun lalu, realisasinya penyampaian SPT Tahunan 2023 mencapai 1.048.242 atau 1,04 juta untuk WP Badan (korporasi) dan 13.159.400 atau 13,15 juta untuk WP OP.

Sementara pada tahun ini, realisasi penyampaian SPT Tahunan 2024 sebesar 1.053.360 atau 1,05 juta untuk WP Badan dan 12.999.861 atau 12,99 juta untuk WP OP.

Artinya, ada penurunan penyampaian SPT Tahunan WP OP pada tahun ini sebesar 159.539 (-1,21%) dibandingkan tahun lalu. Padahal, penyampaian SPT Tahunan WP Badan pada tahun ini meningkat sebanyak 5.118 (+0,49%) dibandingkan tahun lalu.

Kondisi Penerimaan 

Adapun dengan capaian Rp990,01 triliun, realisasi setoran pajak sampai Juli 2025 itu masih di angka 47,2%. Padahal kalau mengacu kepada kinerja penerimaan pajak tahun-tahun sebelumnya, lazimnya sampai Juli realisasi setoran pajak sudah melebihi angka 50% dari target tahunan.

Sekadar contoh, pada tahun Juli 2024 lalu realisasi penerimaan pajak mampu mencapai Rp1.045,3 triliun atau 52,56%. Begitupula pada bulan Juli 2023, penerimaan pajak bahkan sudah menembus angka 64,56% dan pada Juli 2022 tercatat sebesar 69,26% dari target.

Selain persentase realisasi dengan target, pelemahan penerimaan pajak sejatinya juga dapat dilihat dari sisi pertumbuhannya. Pada juli 2025, penerimaan pajak masih terkontraksi cukup dalam. Angkanya minus 5,29% year on year, meskipun cenderung lebih baik dibandingkan dengan Juli tahun lalu yang terkontraksi sebesar 5,75%.

Namun demikian, jika dibandingkan dengan Juli 2023 dan 2022 yang masing-masing mampu tumbuh di angka 7,84% dan 58,79%, angka itu jauh lebih buruk. Khusus tahun 2022 terjadi lonjakan signifikan karena pada Juli 2021, penerimaan pajak masih dibayang-bayangi pandemi Covid-19. Realisasi penerimannya pun hanya di angka Rp647,7 triliun.

Adapun saat rapat di DPR pekan lalu, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto mengungkap empat pemicu rendahnya penerimaan pajak pada Juli 2025.

Pertama, dari pajak penghasilan (PPh) Badan sebesar Rp174,47 triliun atau setara 47,2% dari target APBN 2025. Realisasi PPh Badan itu turun 9,1% dari periode yang sama tahun lalu. Kedua, dari PPh Orang Pribadi sebesar Rp14,98 triliun atau setara 98,9% dari target APBN 2025. Realisasi PPh Orang Pribadi itu naik 37,7% dari periode yang sama tahun lalu.

Ketiga, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) sebesar Rp350,62 triliun atau setara 37,1% dari target APBN 2025. Realisasi PPN dan PPnBM itu turun 12,8% dari periode yang sama tahun lalu. Keempat, pajak bumi bangunan (PBB) sebesar Rp12,53 triliun. Realisasi itu naik 129,7% dari periode yang sama tahun lalu.

Apa Kata Pengamat? 

Sementara itu pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono mengatakan bahwa  semua kebijakan publik, termasuk kebijakan pajak, tidak terlepas dari rasionalitas yang mendasarinya termasuk kebijakan pajak yang dirumuskan oleh Menkeu saat ini.

Prianto mencontohkan bahwa jika dPDB = C + I + G + (X – M), maka pertumbuhan PDB disokong oleh C = konsumsi dalam negeri (DN), I atau Investasi, G (pengeluaran pemerintah), dan  X – I atau ekspor – impor. 

Berdasarkan empat komponen PDB di atas, PPh dan PPN secara matematis akan naik jika keempat komponen tsb tumbuh. Konsumsi naik, PPN naik dan laba diharapkan naik sehingga PPh badan tumbuh. Tenaga kerja juga tumbuh sehingga PPh 21 bisa naik.

Begitu pula, ketika investasi meningkat, otomatis PPN dan PPh 21 seharusnya meningkat. Belanja pemerintah naik, PPN dan PPh badan juga naik Ekspor meningkat, maka laba diharapkan meningkat. “Makanya, PPh badan juga dapat meningkat,” kata Prianto.

Kendati demikian, untuk memastikan hal itu optimal, otoritas pajak harus memperhatikan dan menjaga agar paradigma service and trust terus ditingkatkan. Dari sisi pelayanan, otoritas harus meningkatkan mutu pelayanan kepada semua WP. Sementara itu, dari sisi trust, pelayanan yang berkualitas diharapkan akan dapat meningkatkan trust (kepercayaan) WP. 

“Pada gilirannya, voluntary compliance akan terus meningkat sehingga WP patuh dan membayar pajak secara sukarela,’ lanjutnya. 

Selain itu, Prianto juga menyarankan supaya pemerintah meminimalkan paradigma cop and rob. Di satu sisi, otoritas pajak jangan berperan sebagai polisi (cop) yang menganggap WP sebagai rob (perampok). 

“Kondisi cop and rob akan menumbuhkan enforced compliance sehingga WP terpaksa patuh karena dianggap perampok yang mengemplang atau menggelapkan pajak.”