Bisnis.com, JAKARTA – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memeriksa Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Dirjen PHU) periode 2021-2025, Hilman Latief, sebagai saksi terkait dugaan korupsi kuota haji 2023-2024.
Berdasarkan pantauan Bisnis.com, Hilman diperiksa penyidik KPK sejak pukul 10.22 WIB hingga 21.53 WIB. Dia mengaku ditanya terkait regulasi proses penyelenggaraan haji.
“Saya pendalaman regulasi-regulasi. Regulasi-regulasi yang ada dalam proses haji,” katanya kepada wartawan, Kamis (18/9/2025).
Dia mengaku tidak ditanya soal pihak yang menentukan pembagian kuota haji dan mengklaim tidak mengetahui pengembalian uang yang diduga berkaitan dengan kasus tersebut.
Hilman menyampaikan para agen perjalanan telah disampaikan sebagaimana mestinya terkait pembagian kuota haji.
“Itu sudah disampaikan ke mereka semua ya. Proses yang dilalui, tahapan-tahapan yang dilakukan sampai keberangkatan,” ucapnya.
Dia menepis adanya patokan harga penjualan kuota haji saat era pemerintahan Presiden Jokowi itu.
“Enggak ada, enggak ada,” jelasnya.
Diketahui, kasus ini merupakan dugaan penyelewengan pembagian kuota haji era Presiden ke-7 Joko Widodo. Pada 2023, dia bertemu dengan pemerintah Arab Saudi agar Indonesia memperoleh kuota haji tambahan. Alhasil pemerintah Arab Saudi memberikan 20.000 kuota haji tambahan.
Pembagian kuota berdasarkan aturan sebesar 92% kuota haji reguler dan 8% kuota haji khusus. KPK menduga para asosiasi dan travel yang mengetahui informasi itu menghubungi Kementerian Agama untuk mengatur pembagian kuota.
Pembagian berubah menjadi 50% kuota haji reguler dan 50% kuota haji khusus. Aturan ini tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 130 tahun 2024 yang diteken oleh Yaqut.
Pada 7 Agustus dan 1 September 2025, KPK memanggil Yaqut untuk dimintai keterangan terkait perkara kuota haji, mulai dari proses pembagian kuota dan aliran dana.
Setelah melakukan serangkaian penyelidikan, KPK menaikkan status perkara menjadi penyidikan pada 9 Agustus 2025.
KPK bekerja sama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk menghitung kerugian keuangan negara atas dugaan korupsi kuota haji.
Hasil penghitungan awal yang diumumkan pada 11 Agustus 2025, kerugian negara dalam kasus kuota haji ini mencapai lebih dari Rp1 triliun.
Tak hanya itu, menurut Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, penyidik mengendus adanya transaksi jual-beli kuota, yakni haji khusus dijual hingga Rp300 juta dan haji furoda mencapai Rp1 miliar..
“Informasi yang kami terima itu, yang [kuota haji] khusus itu di atas Rp100 jutaan, bahkan Rp200-Rp300 gitu ya. Bahkan ada yang furoda itu hampir menyentuh angka Rp1 miliar per kuotanya, per orang,” kata Asep, dikutip Kamis (18/9/2025).
Asep mengatakan selisih dari tarif tersebut kemudian disetorkan travel untuk oknum di Kementerian Agama mencapai US$2.600 sampai US$7.000 per kuota atau sekitar Rp40,3 juta sampai Rp108 juta.
“Jadi kalau yang besaran US$2.600 sampai US$7.000 itu untuk kelebihannya yang disetorkan ke oknum di Kementerian Agama,” jelasnya.
Namun, tarif penjualan kuota haji disesuaikan dengan kemampuan jemaah yang berminat. Adapun Asep menjelaskan alasan adanya jemaah yang berminat karena mereka sudah menggelar syukuran di rumahnya dan gengsi jika tidak jadi berangkat.
