Tanpa Bandwidth Tinggi dan Latensi Rendah Layanan AI Sulit Bekerja

Tanpa Bandwidth Tinggi dan Latensi Rendah Layanan AI Sulit Bekerja

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengungkap pengembangan ekosistem kecerdasan artifisial (artificial intelligence/AI) di Indonesia masih menghadapi tantangan besar, mulai dari kecepatan internet yang belum optimal, latensi tinggi, ketersediaan energi bersih, hingga keamanan digital.

Direktur Jenderal Ekosistem Digital Komdigi, Edwin Hidayat Abdullah, menekankan konektivitas masih menjadi pekerjaan rumah utama Indonesia untuk bisa bersaing dengan negara lain dalam penerapan AI.

“Tantangannya? Bandwidth tinggi dan latency rendah. Tanpa ini layanan AI real-time masih seperti telemedicine, sistem kendali otomatis, dan prediksi bencana tidak akan bisa berjalan lancar,” kata Edwin dalam acara AI Innovation Summit 2025 di Jakarta pada Selasa (16/9/2025). 

Edwin mengakui, dibandingkan negara maju, kualitas konektivitas Indonesia masih jauh tertinggal. “Jadi memang ini challenge-nya kita, kita sekarang konektivitas kita, speed-nya masih sangat kurang dibandingkan negara-negara maju. Ini adalah challenge kita bagaimana kita bisa meningkatkan kehandalan infrastruktur kita,” imbuhnya.

Untuk menjawab tantangan tersebut, Komdigi juga tengah mengembangkan Green Enabling Supergrid, yaitu jaringan energi data terintegrasi yang mendukung puluhan ribu titik akses di seluruh nusantara. 

Edwin menekankan isu utama bukan hanya soal konektivitas, melainkan juga ketersediaan pasokan energi yang andal, bersih, dan berkelanjutan. Menurutnya, teknologi AI membutuhkan listrik yang harus bersumber dari energi ramah lingkungan.

Selain itu, Edwin mengatakan isu keamanan digital juga tetap menjadi ujian terberat dalam pengembangan AI. Menurut CISO Report, 86% pemimpin bisnis melaporkan insiden keamanan terkait AI dalam 12 bulan terakhir.

Data menunjukkan lebih dari 21.000 persona Indonesia mengalami kebocoran data dan 89.110 catatan data yang bocor telah dilaporkan. 

“Dan ini adalah ancaman nyata terhadap privasi, kebutuhan publik, dan stabilitas ekonomi nasional. Kita tidak bisa mengizinkan AI tumbuh tanpa pelindung. Karena teknologi yang cerdas tidak akan aman. Bisa menjadi senjata ganda,” kata Edwin.

Sebagai langkah mitigasi, Komdigi sedang menyiapkan kerangka manajemen AI yang mendorong adopsi standar internasional, sekaligus pendekatan berbasis risiko yang dituangkan dalam panduan etik AI.

“Pendekatan berbasis risiko dituangkan secara ringkas pada panduan etik kecerdasan artifisial yang membagi risiko kecerdasan artifisial menjadi tiga kategori, yaitu risiko tidak diterima, risiko tinggi, dan juga risiko minimal atau rendah,” kata Edwin.

Sebagai informasi, Komdigi tengah menyiapkan dua aturan utama yang bakal menjadi fondasi regulasi kecerdasan artifisial di Indonesia. Kedua aturan tersebut adalah Buku Peta Jalan AI Nasional dan Pedoman Etika AI, yang kabarnya meluncur pada September ini.