Bisnis.com, JAKARTA— Lonjakan transaksi yang terjadi di e-commerce dinilai sebagai upaya masyarakat mencari barang murah di tengah kondisi yang menantang.
Bank Indonesia (BI) mencatat belanja masyarakat lewat e-commerce masih kencang pada Januari–Juli 2025.
Secara volume, e-commerce tumbuh 6,64% secara bulanan (month-to-month/MtM) dan secara tahunan 16,89% (year-on-year/YoY) menjadi sebesar 466,93 juta transaksi.
Dari sisi nominal, nilai belanja online meningkat 6,41% secara bulanan. Jika dibandingkan periode sama tahun lalu, transaksi naik 2,32% dengan total mencapai Rp44,4 triliun. Rata-rata belanja per transaksi atau ticket size pun ikut naik menjadi sekitar Rp95.000.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) menegaskan konsumsi rumah tangga tetap menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II/2025 dengan kontribusi 5,12% yoy.
BPS menyebut shifting belanja ke online menjadi motor penggerak konsumsi masyarakat.
Ekonom Digital dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menjelaskan ada dua hal yang terlihat dari meningkatnya transaksi e-commerce.
Pertama adalah proses moving dari belanja offline ke online masih berlangsung pesat.
“Orang semakin ‘malas’ beli lewat toko offline. Toko offline hanya untuk lihat-lihat saja, belinya online. Maka muncul fenomena rohana dan rojali. Selain itu, belanja kebutuhan sehari-hari pun sudah pake egroceries seperti Alfagift dan Indomaret Klik,” kata Huda kepada Bisnis pada Jumat (12/9/2025).
Kedua, lanjut Huda, daya beli masyarakat yang tertekan membuat konsumen cenderung memilih belanja online yang menawarkan harga lebih murah.
Ilustrasi e-commerce
Kondisi ini, menurutnya, berkaitan erat dengan dompet masyarakat yang semakin menipis, sementara kebutuhan maupun keinginan tetap ada. Alhasil, mereka mencari alternatif barang secara online.
“Terlebih dua platform besar masih bakar uang juga meskipun berkurang dan diambil dari ‘biaya’ seller,” imbuhnya.
Namun demikian, Huda mengingatkan tren pertumbuhan e-commerce berpotensi menghadapi tantangan besar di masa depan.
Dia menilai, ketika regulasi perdagangan online diberlakukan setara dengan penjual offline, maka harga produk akan mengalami kenaikan akibat beban pajak dan biaya tambahan lain.
Di sisi lain, akses pendanaan yang semakin ketat membuat banyak platform mulai mengambil keuntungan dari seller, sehingga harga produk ikut terdorong naik.
“Akibatnya harga dari seller akan meningkat. Jika permintaan turun, maka seller akan moving ke media sosial. Mereka akan lebih banyak berjualan via medsos,” katanya.
Dari sisi asosiasi, Sekretaris Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Budi Primawan menilai tren positif ini sebagai bukti belanja online semakin menjadi kebiasaan masyarakat.
“Kenaikan transaksi e-commerce dua digit sampai Juli 2025 menunjukkan belanja online makin jadi bagian dari keseharian masyarakat,” kata Budi.
Budi mengatakan pertumbuhannya didorong oleh literasi digital yang makin baik, promo tematik dari platform, kemudahan layanan pembayaran digital, dan jangkauan logistik yang makin luas.
Budi menambahkan fokus asosiasi menjaga agar pertumbuhan ini tetap sehat. Selain itu, mendorong perlindungan konsumen dan mekanisme komplain yang jelas.
Pihaknya juga aktif membantu UMKM lewat program literasi digital, fasilitasi onboarding, advokasi kebijakan yang adil, dan promosi produk lokal supaya makin dikenal.
“Harapannya ekosistem e-commerce bisa tetap inklusif dan kompetitif bagi semua,” katanya.
