Pengusaha Minta Pemda Tak Jadikan Internet sebagai Ladang Pendapatan

Pengusaha Minta Pemda Tak Jadikan Internet sebagai Ladang Pendapatan

Bisnis.com, JAKARTA— Pengusaha internet berharap pemerintah daerah tidak menjadikan infrastruktur data sebagai objek pendapatan daerah.

Muncul kekhawatiran pemangkasan alokasi transfer ke daerah (TKD) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 membuat Pemda lebih agresif dalam mengoptimalkan PAD dari berbagai sumber, termasuk telekomunikasi. 

“Saya berharap tentunya infrastruktur telekomunikasi ini tidak menjadi objek PAD karena ini menjadi backbone masyarakat,” kata Ketua Umum APJII, Muhammad Arif, kepada Bisnis pada Selasa (9/9/2025).

Dalam RAPBN 2026, pemerintah mengalokasikan dana TKD sebesar Rp650 triliun, turun signifikan dibandingkan dengan tahun ini yang mencapai Rp919 triliun. Artinya, terdapat pemangkasan sebesar Rp269 triliun. 

Menurut Arif, apabila infrastruktur telekomunikasi dijadikan objek PAD, hal itu dikhawatirkan akan berdampak pada kenaikan harga layanan internet yang akhirnya merugikan masyarakat.

“Dikhawatirkan apabila menjadi PAD akan meningkatkan harga layanan internet ke masyarakat, yang rugi ke depan masyarakat juga. Tapi saya belum dapat komentar lebih jauh,” tambahnya.

Sementara itu, Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (Apjatel) menilai pemangkasan TKD dalam 

RAPBN 2026 kemungkinan berpotensi memicu peningkatan beban retribusi bagi industri telekomunikasi, khususnya operator seluler dalam penyelenggaraan jaringan kabel.

Ketua Umum Apjatel, Jerry Siregar, mengatakan penurunan Rp269 triliun tersebut diperkirakan akan berdampak pada agresivitas pemerintah daerah untuk meningkatkan PAD. 

“Ada kemungkinan [biaya retribusi naik karena TKD] karena sekarang sama yang terjadi di industri telekomunikasi. Di tengah persaingan yang sengit pemimpin daerah membahas apa yang berpotensi untuk menjadi PAD,” kata Jerry kepada Bisnis pada Selasa (9/9/2025). 

Menurutnya, meski sudah ada perubahan regulasi melalui Permendagri Nomor 19/2016 menjadi Permendagri Nomor 7/2024 yang dinilai positif, praktik di lapangan masih menunjukkan banyak daerah yang tetap memberlakukan pungutan retribusi. Dia mencontohkan praktik di Surabaya yang didasarkan pada Perda Nomor 5/2017 dan Perwali Nomor 80/2018 yang hingga kini masih berlaku.

Petugas memperbaiki BTS

Lebih lanjut, Jerry menyebutkan beban biaya regulasi tidak hanya datang dari pemerintah daerah, tetapi juga berbagai instansi lain. Misalnya, PT Kereta Api Indonesia (KAI) memungut biaya crossing railway untuk kabel yang melintasi jalur kereta api, sementara di sektor kehutanan perizinan masih sulit dengan biaya yang dinilai menantang.

“Ada banyak ongkos regulator. Sangat berasa terlihat dari keluhan para pelaku usaha. Ini sesuatu yang terus berulang seperti kaset rusak,” katanya.

Jerry menambahkan, biaya regulasi yang dikenakan pemerintah juga membebani industri. “Jadi negara hadir cuma untuk memungut biaya regulasi USO 1,25%. Jadi ongkos kami ada karena regulasi yang dibuat pemerintah,” imbuhnya. 

Padahal, kata Jerry, keberadaan infrastruktur internet memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. 

Jerry mengatakan, berdasarkan kajian ITU, konektivitas internet berpotensi mendorong pertumbuhan PDB sebesar 2–3%. Namun, menurutnya hal tersebut belum sepenuhnya dipandang penting oleh pemerintah daerah, padahal dapat menggerakkan ekonomi formal maupun informal

Jerry mengatakan pihaknya berharap ada keseriusan pemerintah pusat dan daerah dalam menyelaraskan kebijakan agar tidak menambah beban industri telekomunikasi yang saat ini tengah menghadapi tantangan besar, termasuk tren konsolidasi operator.

“Kami mohon pimpinan terkait, turbolensi terhadap ekosistem ini makin terlihat dengan banyaknya pemain usaha yang kemudian merger. Yang besar aja terdampak, apalagi kita yang kecil. Itu bisa berdampak ke seluruh sektor,” kata Jerry.