Dosen FH Untag Surabaya Kritik Gaji dan Tunjangan DPRD Jatim: Hukum Justru Perkuat Privilese Elite

Dosen FH Untag Surabaya Kritik Gaji dan Tunjangan DPRD Jatim: Hukum Justru Perkuat Privilese Elite

Surabaya (beritajatim.com) – Dosen Fakultas Hukum (FH) Untag Surabaya sekaligus Peneliti di Nusantara Center for Social Research, Sultoni Fikri, mengkritik tajam tingginya gaji dan tunjangan anggota DPRD Jawa Timur yang mencapai Rp84 juta per bulan.

Menurutnya, fenomena ini menjadi bukti nyata bahwa hukum di Indonesia justru bekerja untuk melanggengkan privilese kelas elite, bukan untuk keadilan rakyat.

“Penerimaan gaji dan tunjangan anggota DPRD Jawa Timur yang menembus Rp84 juta per bulan seolah menjadi bukti sahih bahwa hukum di negeri ini memang bekerja, bekerja keras menjaga kenyamanan kelas elite,” ungkap Sultoni, Minggu (7/9/2025).

Sultoni menjelaskan, dalam perspektif Critical Legal Studies (CLS), hukum tidak pernah netral. Ia menyatakan bahwa hukum hanyalah alat politik yang dipoles dengan bahasa formal demi mengamankan kepentingan penguasa.

“Menurut logika Critical Legal Studies, hukum tidak pernah netral. Ia hanyalah alat politik yang dipoles rapi dengan bahasa formal demi melanggengkan kepentingan penguasa. Dan kasus DPRD Jatim ini contoh paling terang karena hukum dipakai bukan untuk rakyat, melainkan untuk membungkus privilese agar terlihat legal dan pantas,” ujar Sultoni.

Dia juga menyebutkan ketimpangan yang semakin jelas antara gaya hidup elite dan kondisi ekonomi masyarakat. Sultoni menekankan, saat masyarakat mulai berpikir keras tentang harga kebutuhan pokok yang semakin tinggi, para wakil rakyat justru sibuk memperjuangkan kenaikan tunjangan rumah yang fantastis.

“Sungguh ironis, ketika rakyat mempertanyakan harga beras, wakil rakyat justru sibuk menyesuaikan tunjangan rumahnya dengan harga sewa perumahan elite Surabaya,” tegasnya.

Sultoni menunjukkan betapa mencoloknya ketimpangan ini jika dibandingkan dengan pendapatan buruh yang hanya mengandalkan upah minimum. Di saat rakyat terpaksa berhemat untuk bertahan hidup, para pejabat menikmati tunjangan yang jauh dari realitas ekonomi masyarakat.

“Rakyat harus menekan pengeluaran agar bisa bertahan hidup dengan UMP Rp4 juta, sementara anggota dewan diberi Rp57 juta sebulan hanya untuk tunjangan rumah,” tambahnya.

Menurutnya, hukum dalam konteks ini justru berperan sebagai alat yang mengamankan gaya hidup mewah, bukan sebagai instrumen keadilan. “Hukum di sini bukan instrumen keadilan, melainkan kalkulator resmi untuk memastikan gaya hidup mewah tetap berjalan tanpa cela hukum,” ujarnya.

Sultoni juga mengkritik bagaimana hukum memberi legalitas pada ketidakadilan. Ia menyebutkan ketimpangan tersebut sangat jelas terlihat dalam penerapan hukum, di mana rakyat miskin dihukum berat karena pelanggaran kecil, sementara para pejabat menikmati privilese yang sah secara hukum.

“Inilah wajah hukum ala CLS karena ia adil sekali, memberi banyak hal kepada yang sudah berkuasa, dan memberi legalitas pada kesenjangan yang semakin dalam. Dengan bahasa sederhana, ketika rakyat miskin mencuri beras, itu pelanggaran hukum,” jelasnya.

“Tapi ketika pejabat mengantongi Rp84 juta lewat Perda, itu namanya aturan main,” tambahnya.

Menurut Sultoni, ini menunjukkan keberhasilan hukum dalam membungkus ketidakadilan menjadi sesuatu yang tampak wajar di mata publik. Ia menyebutkan, kondisi ini membuat masyarakat tidak lagi punya ruang untuk mempertanyakan keadilan.

“Dan bukankah ini bukti nyata bahwa hukum berhasil? Berhasil membuat ketidakadilan terasa wajar, karena sudah dicatat dalam lembaran negara,” tegasnya.

Sultoni juga menyampaikan kritik pedas kepada DPRD Jawa Timur yang seharusnya menjadi perwakilan rakyat, namun dalam kenyataannya justru sibuk menikmati kehidupan mewah yang mereka janjikan.

“Pada akhirnya, DPRD Jatim memang mewakili rakyat. Mewakili impian rakyat tentang hidup makmur tapi dengan satu catatan kecil, yakni rakyat hanya bisa jadi penonton, sementara yang mewakili justru sibuk menikmati kehidupan yang mereka janjikan,” pungkasnya. [asg/suf]