Risiko Diskriminasi Kerja dari Skema Baru Bagi Hasil Pajak Karyawan

Risiko Diskriminasi Kerja dari Skema Baru Bagi Hasil Pajak Karyawan

Bisnis.com, JAKARTA – Rencana pemerintah mengubah skema dana bagi hasil pajak penghasilan Pasal 21 (PPh 21) atau pajak karyawan dari berbasis lokasi perusahaan pemotong ke domisili karyawan menuai catatan kritis.

Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai kebijakan ini bisa menimbulkan diskriminasi perekrutan tenaga kerja. Fajry mengkhawatirkan kebijakan ini dapat mendorong perusahaan hanya merekrut pegawai yang sesuai dengan domisili tertentu.

“Perusahaan selama ini juga mendapatkan manfaat secara tidak langsung dari fasilitas umum yang diberikan pemerintah daerah,” jelasnya kepada Bisnis, Sabtu (6/9/2025).

Dia juga mengingatkan, perubahan skema dana bagi hasil tidak otomatis menyelesaikan persoalan penurunan anggaran transfer ke daerah (TKD) seperti yang tercantum dalam RAPBN 2026. Menurutnya, manfaat wacana skema baru itu hanya akan banyak dirasakan oleh daerah penyangga kota besar.

Meski demikian, Fajry mengakui ada potensi tambahan penerimaan bagi daerah lain. Hal ini bisa membantu mengurangi ketimpangan ekonomi antara Jakarta dengan wilayah penyangga.

“Saya menduga dampaknya akan terbatas, hanya antar Pulau Jawa saja. Tidak menyentuh masalah ketimpangan sebenarnya yakni antara Pulau Jawa dengan lainnya atau wilayah Barat dengan Timur,” tegasnya.

Wacana Pemerintah

Sebelumnya, Kementerian Keuangan tengah menyiapkan skema baru pembagian hasil PPh 21 yang dipotong dari upah karyawan agar lebih adil bagi daerah.

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mengatakan bahwa saat ini mekanisme bagi hasil PPh 21 masih mengacu pada lokasi pemotong pajak, bukan domisili karyawan. Hanya saja, pemerintah kini sedang mengkaji perubahan pendekatan tersebut.

“Untuk PPh karyawan atau PPh 21 yang dipotong dan dibagihasilkan ke daerah, selama ini memang mendasarkan diri kepada pemotongnya. Nah kami sekarang saat ini sedang melakukan exercise untuk melakukan bagi hasil berdasarkan domisili dari karyawan bersangkutan,” ujarnya dalam rapat kerja dengan DPD secara virtual, dikutip Rabu (3/9/2025).

Anggito menjelaskan bahwa skema berbasis domisili diyakini akan lebih adil serta menjawab aspirasi daerah yang selama ini meminta keadilan pembagian pajak.

Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan daerah, terutama yang memiliki banyak pekerja namun tidak menjadi pusat pemotongan pajak. Meski begitu, Anggito menegaskan bahwa PPh Badan tidak akan mengikuti skema baru ini.

“Untuk PPh badan tidak dibagihasilkan, jadi pemungut di manapun saja itu tidak mempengaruhi aspek bagi hasil pajaknya,” jelasnya.

Adapun mengutip situs resmi Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan, penyaluran dana bagi hasil PPh 21 dilaksanakan berdasarkan prognosa realisasi penerimaan dalam tahun anggaran berjalan dan dilaksanakan secara kuartalan.

Perinciannya, penyaluran kuartal I sampai dengan kuartal III masing-masing sebesar 20% dari alokasi sementara. Sementara penyaluran kuartal IV didasarkan pada selisih antara pembagian definitif dengan jumlah dana yang telah dicairkan selama kuartal I sampai dengan kuartal III.

Dalam skema yang berlaku saat ini, dana bagi hasil PPh 21 dibagi dengan rincian sebagai berikut: 8% untuk provinsi yang bersangkutan dan 12% untuk kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan.

Sementara PPh 21 untuk kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan dibagi dengan rincian sebagai berikut: 8,4% untuk kabupaten/ kota tempat wajib pajak terdaftar dan 3,6% untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan dengan bagian yang sama besar.