Ojol Tercekik Diskon Aplikator, Senator Lia Singgung Omnibus Law dan Minta Komdigi Tegas

Ojol Tercekik Diskon Aplikator, Senator Lia Singgung Omnibus Law dan Minta Komdigi Tegas

Surabaya (beritajatim.com) – Persoalan potongan tarif aplikator masih menjadi atensi publik. Bahkan, hal ini dianggap belum menemukan titik temu aturan yang adil sekalipun Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) secara gamblang telah menyoroti aturan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang dinilai membuat aplikator seperti Gojek, Grab, Maxim hingga inDrive bisa mengenakan potongan kepada mitra pengemudi ojol dan kurir hingga 70 persen dari pengantaran makanan dan barang.

“Kami mendapatkan potongan platform hingga 70 persen, di saat pengemudi ojol hanya mendapatkan Rp 5.200 untuk pengantaran makanan, padahal konsumen membayar Rp 18 ribu kepada platform,” kata Ketua SPAI Lily Pujiati dalam keterangan persnya.

Di satu sisi, pengemudi ojol, taksi online, dan kurir harus menanggung berbagai biaya operasional sehari-hari seperti bensin, parkir, pulsa, paket data, servis kendaraan, penggantian spare parts, cicilan handphone maupun kendaraan dan biaya lainnya.

Tak ayal, gelombang keluhan dari pengemudi ojek online (ojol) terus mengemuka di berbagai wilayah.

Hal ini menjadi sorotan senator Jawa Timur yang selama ini kerap vokal menyuarakan isu-isu sosial. Adalah Lia Istifhama, yang kedapatan menerima audiensi Komunitas Frontal (Front Driver Online Tolak Aplikator Nakal) Jawa Timur di Kantor DPD RI.

Dalam kesempatan itu, Anggota DPD RI tersebut mendengarkan langsung curahan hati para driver tentang praktik aplikator yang dinilai semena-mena dan menekan penghasilan mereka.

Para driver mengaku kian tercekik akibat kebijakan diskon besar-besaran dari aplikator. Program promo tersebut membuat tarif anjlok, bahkan menyalahi aturan batas bawah yang telah ditetapkan pemerintah.

“Norma standar prosedur belum jelas, sanksi dan sistem suspend juga sering memberatkan mitra driver. Banyak keberatan yang disuarakan, tapi aplikator seolah jalan sendiri tanpa kontrol,” ungkap Richo Suroso, Ketua Komunitas Frontal Jatim.

Keluhan serupa datang dari driver roda empat dan driver barang. Untuk roda empat, tarif seharusnya Rp3.800 per kilometer, namun aplikator tidak mematuhi aturan. Bahkan, pada sektor pengiriman barang, tarif bisa di bawah Rp50 ribu meski sudah memperhitungkan BBM, tenaga, dan waktu kerja.

“Kami sudah tiga bulan menuntut penyesuaian tarif, tapi aplikator tetap cuek. Ini membuat driver tercekik dan seolah dipermainkan,” tambah Riko.

Para pengemudi sebenarnya sudah memiliki payung hukum di tingkat daerah. Pada 10 Juli 2023, Gubernur Jawa Timur saat itu, Khofifah Indar Parawansa, menandatangani dua Keputusan Gubernur (Kepgub). Pertama, Kepgub Nomor 188/291/KPTS/013/2023 tentang pelaksanaan pengawasan biaya jasa penggunaan sepeda motor untuk kepentingan masyarakat melalui aplikasi. Kedua, aturan teknis lanjutan yang mengatur pengawasan tarif agar aplikator tidak seenaknya memberikan promo.

Kebijakan serupa juga muncul di provinsi lain, seperti Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, yang secara tegas meminta penghentian program promosi aplikator karena dianggap merugikan mitra pengemudi.

“Kami mengapresiasi langkah Gubernur Jawa Timur dan provinsi lain yang melindungi driver. Tapi masalahnya provinsi atau daerah tidak punya kewenangan untuk memblokir aplikator nakal seenaknya. Pemerintah Pusat, yaitu Komdigi, tidak memiliki sanksi tegas pemblokiran,” tegas Riko.

Menanggapi keluhan itu, Ning Lia mendesak Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk turun tangan. Menurutnya, Dishub maupun pemerintah daerah punya keterbatasan kewenangan, sehingga peran Komdigi sangat penting dalam memberi tekanan pada aplikator nakal.

Perempuan yang sebelumnya dikenal sebagai aktivis sosial tersebut, menyinggung implementasi Omnibus Law atau Undang-undang Cipta Kerja.

“Kita harus akui, setiap kebijakan pasti memiliki dampak atau impact beragam. Omnibus law salah satunya, ada pasal-pasal yang menempatkan potensi presiden mengambil alih kewenangan yang sebelumnya milik pemda. Tepatnya, pasal 174 Omnibus Law UU Cipta Kerja yang menambahkan satu aturan soal hubungan pemerintah pusat dan daerah. Pasal ini mengatur kewenangan pemerintah daerah hanya sebagai bagian dari kewenangan presiden,” imbuhnya.

“Selain itu, Omnibus Law memberi wewenang ekstra bagi pemerintah pusat dalam urusan perizinan. Yah, saya kira banyak hal yang memang harus dikaji bersama. Terlebih saat ini kita Revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) masuk dalam daftar RUU prioritas Program Legislasi Nasional tahun 2025. Maka semoga Revisi UU Pemda termasuk solusi keadilan skema tarif ojol pengantaran barang dan makanan,” tegasnya.

Ning Lia juga menekankan harapan agar Komdigi segera membuat aturan sanksi aplikator nakal.

“Saya kira, tidak ada kata lain selain Komdigi menunjukkan negara hadir, yaitu segeralah membuat aturan sanksi bagi aplikator nakal. Saya kira, Bapak Presiden Prabowo Subianto sangat aspiratif dan berhasil membangun hubungan interpersonal, maka sekarang tinggal Kementerian terkait agar persoalan tarif ojol pengantaran barang dan makanan ini, tidak berlarut-larut, melainkan para teman-teman ojol bisa segera merasakan keadilan kebijakan,” pungkasnya. [tok/aje]