Jombang (beritajatim.com) – Kenaikan tunjangan perumahan dan transportasi anggota DPRD Jombang sejak 1 Januari 2025 memicu kontroversi besar di kalangan masyarakat.
Peraturan Bupati (Perbup) Jombang Nomor 66 Tahun 2024 menetapkan bahwa tunjangan perumahan bagi Ketua DPRD meningkat menjadi Rp37.945.000 per bulan, Wakil Ketua Rp26.623.000, dan anggota dewan Rp18.865.000. Selain itu, tunjangan transportasi juga mengalami kenaikan, masing-masing anggota dewan berhak menerima Rp13.500.000 per bulan.
Kenaikan tunjangan ini terbilang fantastis jika dibandingkan dengan Perbup sebelumnya (Nomor 5 Tahun 2022), di mana Ketua DPRD hanya menerima Rp29.200.000, Wakil Ketua Rp21.800.000, dan anggota dewan Rp18.800.000, dengan tunjangan transportasi Rp12.900.000.
Namun, keputusan ini mendapat kritikan keras dari berbagai pihak yang menilai kebijakan tersebut tidak sensitif terhadap kondisi ekonomi masyarakat yang tengah kesulitan.
Sekretaris Majelis Rakyat Jombang (MRJ), Syadat Almahiri, menegaskan bahwa kebijakan kenaikan tunjangan tersebut sangat mencederai hati masyarakat, terutama di tengah kesulitan ekonomi yang sedang dihadapi.
“Kenaikan tunjangan anggota dewan saat ini sungguh mencederai, pertama mencederai prinsip efisiensi yang dicanangkan secara nasional. Dimana yang seharusnya semuanya harus melakukan efisiensi bersama, ini malah justru tunjangan dewan naik,” ujarnya, Kamis (4/9/2025).
Syadat menambahkan bahwa kenaikan tunjangan tersebut memperburuk harapan masyarakat yang saat ini bingung menghadapi kondisi ekonomi. “Masyarakat bingung dengan kondisi ekonomi, sementara wakil rakyatnya berlebih-lebihan dalam hal tunjangan,” jelasnya.
Ia juga meminta agar anggota DPRD menunda kenaikan tunjangan tersebut untuk menjaga hubungan dengan masyarakat dan mencegah hati masyarakat terluka. Selain itu, Syadat mengusulkan agar belanja di DPRD yang tidak terlalu penting, seperti kunjungan kerja (Kunker), dikurangi untuk memprioritaskan kepentingan rakyat.
Sebagai bentuk protes, MRJ berencana untuk menggalang aksi massa jika kenaikan tunjangan tersebut tetap dipaksakan dalam kebijakan anggaran tahun 2025-2026. Warga Jombang semakin gelisah dengan kebijakan yang dinilai semakin memperlebar jurang pemisah antara wakil rakyat dan masyarakat yang mereka wakili.
Kebijakan ini menjadi perhatian lebih karena bertentangan dengan prinsip efisiensi yang digelorakan oleh Presiden Prabowo Subianto, yang mengajak seluruh elemen negara untuk bersama-sama melakukan efisiensi di tengah kesulitan ekonomi.
Namun, di Jombang, langkah tersebut justru memperlihatkan sebaliknya, yakni peningkatan tunjangan yang tidak sebanding dengan realitas yang dihadapi masyarakat. [suf]
