Surabaya (beritajatim.com) – Sebanyak 109 orang ditangkap aparat kepolisian dalam gelombang demonstrasi di Surabaya pada 29 hingga 31 Agustus 2025. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya memprotes keras dugaan pelanggaran prosedur, terutama terkait sulitnya akses pendampingan hukum bagi massa aksi yang diperiksa penyidik.
Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Habibus Shalihin, dari 109 orang yang ditangkap, 80 orang berada di Polrestabes Surabaya dan 29 orang di Polda Jawa Timur. Dari jumlah tersebut, 55 orang di Polrestabes dan 28 orang di Polda sudah dibebaskan. Masih ada dua orang yang menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
“Secara keseluruhan, hingga saat ini sekitar 81 orang telah dibebaskan oleh pihak kepolisian, sementara 2 orang masih harus menjalani pemeriksaan lanjutan,” ujar Habibus, Senin (1/9/2025). Ia menambahkan bahwa status 26 orang lainnya belum terkonfirmasi.
Tim Advokasi Surabaya juga menemukan fakta bahwa delapan anak di bawah 17 tahun ikut ditangkap dalam aksi tersebut. Namun, seluruh anak akhirnya dipulangkan oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Surabaya.
Meski begitu, mereka mengkritik sulitnya melakukan pendampingan hukum. Pihak advokasi menyebut sempat tertahan di pos penjagaan cukup lama sebelum diperbolehkan masuk untuk mendampingi.
“Orang-orang yang tertangkap itu diperiksa oleh penyidik tanpa didampingi pengacara,” kata Habibus. “Mereka kehilangan akses pendampingan hukum yang memadai, dan hal ini dapat menimbulkan kerentanan lebih besar terhadap intimidasi maupun penyiksaan.”
Menurut tim advokasi, penutupan akses pendampingan hukum ini tidak hanya melanggar etika pelayanan publik, tetapi juga sejumlah aturan hukum. Di antaranya, Pasal 54-60 KUHAP yang menjamin hak tersangka didampingi penasihat hukum, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, serta Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Tindakan kepolisian juga dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Perkap No. 8 Tahun 2009, serta aturan internasional yang sudah diratifikasi Indonesia.
Tim Advokasi Surabaya mendesak kepolisian segera membuka informasi lengkap mengenai status warga yang ditangkap, sekaligus memastikan akses bantuan hukum berjalan tanpa hambatan. Mereka menegaskan perlunya aparat menjunjung tinggi prosedur hukum dan prinsip hak asasi manusia.
“Aparat kepolisian wajib tunduk pada hukum, bukan sewenang-wenang menutupinya. Penanganan setiap perkara harus berbasis pada penghormatan hak asasi manusia (HAM), bukan pada tindakan represif yang justru melanggengkan ketidakadilan,” tegas Habibus.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak kepolisian Polrestabes Surabaya saat dikonfirmasi belum memberikan keterangan resmi mengenai pembebasan massa aksi. [rma/suf]
