Mewujudkan Komunikasi Publik yang Bermartabat

Mewujudkan Komunikasi Publik yang Bermartabat

Yogyakarta (beritajatim.com)- Menghadapi kondisi Indonesia yang kurang kondusif saat ini, komunikasi menjadi ujung tombak dan bagian yang sangat penting. Maka kehadiran tokoh yang memahami komunikasi public dengan baik menjadi hal yang penting meredakan kondisi panas yang terjadi di Indonesia.

Pakar komunikasi dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran (UPNV) Yogyakarta,Assoc Prof Dr Edwi Arief Sosiawan, SIP, MSi, CIIQA, CIAR, CPM (Asia) menuturkan akhir akhir ini komunikasi yang dilakukan oleh pejabat publik kurang mampu direduksi menjadi sekadar pertukaran informasi belaka.

Padahal setiap ucapan, pilihan kata, dan gaya penyampaian adalah sebuah performa budaya yang sarat dengan makna simbolik. Ketika seorang pejabat menggunakan label kasar untuk merujuk pada rakyat yang tengah menyuarakan aspirasinya, yang terjadi bukanlah sekadar luapan emosi sesaat.

Tindakan itu merupakan sebuah proses produksi makna yang halus namun powerful: sebuah upaya pembingkaian (framing) yang menggeser posisi warga dari partisipan politik yang sah menjadi entitas marginal dan ter-kriminalisasi.

Bahasa, dalam konteks ini, berubah menjadi alat kekuasaan yang membentuk realitas dan mempertegas garis pemisah antara “kami” dan “mereka”.

Budaya politik suatu bangsa sangat dibentuk oleh resonansi linguistik dari para pemimpinnya. Ketika bahasa yang digunakan terasa jumawa, berjarak, dan miskin empati, publik tidak akan mendengar isi pesannya, melainkan bagaimana pesan itu disampaikan.

Mereka akan membaca sikap dan karakter. Citra yang terbentuk adalah citra elite yang terasing, yang meminggirkan (to marginalize) pengalaman hidup dan penderitaan riil rakyatnya. Jurang pemisah (gap) budaya dan kepercayaan pun semakin menganga.

“Sebaliknya, kita masih mengenang figur-figur juru bicara di era sebelumnya yang berhasil membangun otoritas bukan melalui kerasnya suara, melainkan melalui narasi yang lembut, konsisten, dan legitimatif. Mereka memahami bahwa kredibilitas adalah mata uang yang paling berharga dalam komunikasi publik,” jelas Edwi.

Dana kepercayaan publik (public trust fund) tidak dibangun melalui program-program monologis yang gemerlap. Ia lahir secara organik dari budaya komunikasi yang membumi sebuah praktik yang jujur, responsif, dan yang terpenting, mempertontonkan empati yang tulus. Inilah esensi dari model two-way symmetrical communication, sebuah model ideal di mana pejabat tidak hanya bertindak sebagai corong kebijakan, tetapi juga sebagai pendengar yang aktif dan interpreter yang bijak.

Model ini menuntut kemampuan untuk tidak sekadar mendengar, tetapi benar-benar menyimak aspirasi publik, lalu menyampaikannya kembali (reframing) dengan kelembutan budi dan kecerdasan budaya, sehingga rakyat merasa dipahami, bukan dihadapi.

Fenomena terkini memperlihatkan betapa rapuhnya pondasi ini ketika fungsi juru bicara yang sentral dan terkoordinasi terabaikan. Yang muncul adalah fragmentasi narasi dan inkonsistensi pesan yang membingungkan publik.

“Misalnya, ketika seorang Wakil Ketua DPR menyampaikan evaluasi kritis terhadap kebijakan pajak sebuah domain yang bukan ranah wewenangnya tidak hanya melampaui batas prosedural, tetapi juga menciptakan kesan bahwa tidak ada satu pun suara yang benar-benar otoritatif,” bebernya.

Situasi ini melahirkan sebuah krisis makna: komunikasi pemerintah menjadi tidak utuh, tidak mewakili lembaga, dan pada akhirnya, semakin tidak mewakili rakyat.
Terdapat beberapa romendasi untuk pendekatan komunikasi pemerintah yang perlu dibenahi secara fundamental yaitu:

1. Pembangunan Budaya Institusi yang Empatik

Pelatihan komunikasi untuk pejabat harus melampaui teknik presentasi.

Ia perlu masuk ke dalam pelatihan narasi empatik dan pemaknaan simbolik, membekali para pejabat dengan kecerdasan budaya untuk membaca situasi dan merespons dengan bahasa yang mempersatukan, bukan memecah belah.

2. Manajemen Pesan yang Konsisten dan Terkoordinasi

Setiap lembaga pemerintah perlu memiliki budaya juru bicara yang kuat dan tidak ad-hoc. Hanya dengan suara yang konsisten dan terkelola, sebuah lembaga dapat membangun representasi diri yang otentik dan dapat dipercaya.

3. Adopsi Model Dialogis yang Simetris

Pemerintah harus secara aktif mengadopsi dan menginternalisasi model komunikasi dua arah. Ini berarti membangun sistem yang tidak hanya mendengar keluhan, tetapi secara proaktif merespons dengan personalisasi dan kontekstualisasi budaya, menunjukkan bahwa pemerintah hadir bersama rakyat, bukan di atas mereka.

Pada akhirnya, komunikasi pejabat publik adalah soal kepercayaan. Ia tidak hanya dibangun lewat kebijakan yang substantif, tetapi juga melalui bahasa yang menyejukkan, narasi yang merangkul, dan simbol-simbol yang mengafirmasi rakyat sebagai subjek politik. Ddemokrasi yang sehat, rakyat bukan “penerima pasif” kebijakan, melainkan partisipan aktif yang layak dihormati, di situlah, sejatinya, komunikasi publik menemukan kemanusiaannya. [aje]