Korporasi CPO Awalnya Minta Eksepsi Dikabulkan, Sebelum Suap Hakim Rp 40 M untuk Vonis Lepas Nasional 20 Agustus 2025

Korporasi CPO Awalnya Minta Eksepsi Dikabulkan, Sebelum Suap Hakim Rp 40 M untuk Vonis Lepas
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        20 Agustus 2025

Korporasi CPO Awalnya Minta Eksepsi Dikabulkan, Sebelum Suap Hakim Rp 40 M untuk Vonis Lepas
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Jaksa penuntut umum (JPU) mengungkapkan, pihak korporasi kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO) awalnya meminta agar eksepsi mereka dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menangani perkara mereka, bukan vonis
ontslag
atau vonis lepas.
Hal ini JPU ungkapkan saat membacakan dakwaan terhadap eks Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta dan Panitera Muda nonaktif PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan.
“Saat itu, Wahyu Gunawan menyampaikan permintaan Ariyanto yang menawarkan uang sebesar Rp 20 miliar kepada Djuyamto untuk mengabulkan eksepsi dari pihak Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group dalam perkara korupsi korporasi minyak goreng,” ujar JPU saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (20/8/2025).
Ariyanto merupakan salah satu pengacara yang ditunjuk oleh pihak korporasi. Sementara, Djuyamto merupakan salah satu hakim yang disebutkan bakal menangani perkara kasus korporasi minyak goreng.
Pada pertemuan di Lippo Mal Kemang, Februari 2024, Djuyamto belum memastikan bakal mengabulkan eksepsi dari pihak korporasi. Ia mengaku perlu membaca berkas terlebih dahulu sebelum memberikan jawaban.
Masih di bulan Februari 2024, Wahyu kembali menemui Djuyamto untuk menyerahkan berkas konsep eksepsi yang bakal diajukan pihak korporasi.
Lalu, sekitar satu minggu kemudian, Wahyu dan Djuyamto kembali bertemu.
Dalam pertemuan di Lobby Apartemen Pakubuwono View, Djuyamto mengatakan kalau permohonan eksepsi dari korporasi ini tidak dapat dikabulkan.
Djuyamto mengatakan kepada Wahyu agar ia berkoordinasi dengan Arif Nuryanta yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakpus terkait kasus korporasi ini.
“M Arif Nuryanta yang menunjuk Majelis Hakim perkara korupsi korporasi minyak goreng sehingga semua arahan melalui terdakwa M Arif Nuryanta,” kata JPU membacakan pernyataan Djuyamto saat itu.
Pesan ini diteruskan Wahyu kepada Ariyanto dan sejumlah negosiasi pun terjadi.
Dalam kasus ini, hakim hingga panitera PN menerima uang suap sebanyak Rp 40 miliar. Pemberian dilakukan sebanyak dua kali.
Pemberian pertama terjadi sekitar bulan Mei 2024. Saat itu, Ariyanto mendatangi rumah Wahyu sambil membawa uang tunai USD 500.000 atau setara Rp 8 miliar.
Uang ini kemudian dibagi kepada para terdakwa dengan jumlah yang berbeda-beda. Arif mengambil bagian senilai Rp 3,3 miliar.
Kemudian, Djuyamto selaku hakim ketua mengambil sebanyak Rp 1,7 miliar. Sementara, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin yang merupakan hakim anggota menerima Rp 1,1 miliar.
Adapun, Wahyu juga “kecipratan” uang senilai Rp 800 juta. Uang total Rp 8 miliar ini Arif bagikan kepada majelis hakim pada Juni 2024.
Ia menyebutkan, uang ini sebagai titipan agar majelis membaca berkas secara seksama.
“Ada titipan dari sebelah untuk baca berkas,” ujar salah satu Jaksa meniru omongan Arif.
Lalu, pada Oktober 2024, Ariyanto kembali menyerahkan sejumlah uang kepada Wahyu untuk diteruskan kepada para hakim.
Saat itu, Ariyanto menyerahkan uang tunai senilai USD 2 Juta atau setara Rp 32 miliar.
Uang diberikan agar majelis hakim PN Jakpus memberikan vonis ontslag atau vonis lepas kepada tiga korporasi yang tengah berperkara.
Tidak lama setelah diterima oleh Wahyu, uang ini juga dibagikan kepada yang lain.
Arif menerima Rp 12,4 miliar. Kemudian, Djuyamto mengambil Rp 7,8 miliar. Sementara, Ali dan Agam masing-masing mendapat Rp 5,1 miliar.
Lalu, Wahyu menerima Rp 1,6 miliar. Jika ditotal, dari dua kali pemberian ini hakim hingga panitera menerima uang suap sebanyak Rp 40 miliar.
Rinciannya, Arif menerima Rp 15,7 miliar, Djuyamto menerima Rp 9,5 miliar; Ali dan Agam masing-masing menerima Rp 6,2 miliar. Sedangkan, Wahyu menerima Rp 2,4 miliar.
Dalam perkara ini, para hakim diduga menerima suap untuk menjatuhkan vonis lepas atau ontslag van alle recht vervolging terhadap terdakwa tiga korporasi dalam kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng.
Tiga korporasi tersebut adalah Permata Hijau Group yang terdiri dari PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.
Kemudian, Wilmar Group yang terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
Lalu, Musim Mas Group yang terdiri dari PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas.
Majelis hakim yang menjatuhkan vonis lepas itu diketuai oleh hakim Djuyamto dengan anggota hakim Agam Syarif Baharudin dan hakim Ali Muhtarom.
Putusan diketok di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada 19 Maret 2025.
Dalam kasus ini, para terdakwa didakwa dengan Primair Pasal 12 huruf c subsider Pasal 12 huruf a, jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.